Minggu, 29 November 2009

Pemerintah Terbitkan SKB 3 Menteri Tentang Pendidikan Agama

Jakarta, 23/11 (www.depag.go.id) - Guna menghindari kesalahpahaman penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan direncanakan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Menteri Agama Suryadharma Ali dan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh akan mengeluarkan surat keputusan bersama SKB) tentang pendidikan agama dan keagamaan.

SKB 3 menteri ini juga menjadi penting agar penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan bisa memenuhi standar yang diharapkan, demikian dikemukakan Dirjen Pendidikan Islam Mohammad Ali pada acara sambung rasa dengan wartawan koordinatoriat Departemen Agama di Lembang, Bandung, akhir pekan lalu terkait dengan sosialisasi program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid II.

Mohammad Ali mengatakan, pihaknya kerap didatangi para bupati dan anggota DPRD dari berbagai daerah terkait penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan. "Ada niat kuat dari berbagai daerah untuk membantu, namun mereka ragu lantaran acuan aturannya belum jelas," ungkap Guru Besar UPI Bandung ini

Padahal, katanya, kepala daerah punya tanggung jawab yang sama untuk memajukan anak didik di daerahnya masing-masing. Anak didik yang ada di madrasah dan pondok pesantren itu kan anak-anak mereka juga. Namun karena aturannya masih dirasakan belum kuat, maka mereka merasa takut didatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ujarnya seraya menambahkan sebelum 100 hari, SKB itu sudah harus ada dan segera diberlakukan.

Dia mengharapkan dengan adanya SKB 3 menteri tersebut, para kepala daerah memperoleh kejelasan tentang penyelenggaraan pendidikan keagamaan di daerah masing-masing dan tidak sungkan-sungkan untuk memajukan pendidikan mereka. Selama ini sudah ada bantuan dari Pemda ke anak didik madrasah dan pesantren, tapi sifatnya masih berupa bantuan sosial yang jumlahnya sangat kecil dan insidentil, tandasnya.

Ia menjelaskan, pihaknya dalam program 100 hari ini juga sudah harus menyiapkan aturan dan syarat pendirian madrasah diniyah dan pondok pesantren, termasuk persyaratan ujian nasionalnya. Dengan cara itu, diharapkan ke depan kualitas pendidikan keagamaan di madrasah dan pondok pesantren akan semakin terangkat, ucapnya.

Acara sambung rasa wartawan Depag yang berlangsung 20-22 November 2009 juga diwarnai peninjauan ke Madrasah Aliyah Negeri 2 Bandung yang diterima Kepala MAN 2, Wawan Sofyan didampingi para guru di Aliyah ini. Diakui Wawan, masih ada anggapan keliru masyarakat tentang madrasah, bahwa siswanya hanya belajar agama

"Padahal Madrasah Aliyah sama dengan SMA mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) selain mempelajari ilmu keagamaan, sehingga para siswanya dapat memperoleh keterampilan yang dilandasi keimanan serta ketaqwaan kepada Allah SWT," kata Wawan.

Sementara pada kunjungan di kampus Universitas Islam Nusantara Bandung, disambut oleh Rektor Uninus Drs Didin Wahidin MPd, Ketua Badan Pengurus Yayasan Uninus, Letjen (purn) Achmad Roestandi, SH, dan Direktur Program Pascasarjana Prof Dr Achmad Sanusi.

"Uninus saat ini sedang merayakan milad (ulang tahun) ke 50, diselenggarakan pelbagai kegiatan," kata Achmad Roestandi yang pernah menjadi anggota Mahkamah Konstitusi ini. (ks)

http://pendis.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=4457

Madrasah Alami Diskriminasi Sejak Zaman Penjajahan Hingga Kini

Kapanlagi.com - Madrasah mengalami diskriminasi sejak zaman penjajahan Belanda dan masih terdiskriminasi hingga masa kemerdekaan saat ini.

Hal tersebut dinyatakan oleh Prof Dr Husni Rahim dalam Pidato Pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam bidang Pendidikan pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah di Jakarta, Sabtu (10/09).

"Kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan dan membatasi karena kekhawatiran akan munculnya militansi kaum muslimin terpelajar," ujarnya.

Wujud kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang menekan itu misalnya, tercermin dalam ordonansi guru pada 1905 kemudian diperbarui pada 1926 yang mewajibkan guru-guru agama memiliki surat izin mengajar.

Pengalaman penjajahan yang direpotkan perlawanan rakyat di Cilegon pada 1888 yang dikenal sebagai pemberontakan petani Banten, misalnya, dipengaruhi oleh kyai-kyai pesantren dan pemimpin tarekat menjadi pelajaran serius untuk menerbitkan peraturan tersebut.

Selain itu juga Ordonansi sekolah liar sejak 1932 yang dimaksudkan untuk mengawasi sekolah swasta yang diselenggarakan orang Indonesia dan Timur asing lainnya.

"Kebijakan itulah yang memicu madrasah dan pesantren mengisolir diri dari dunia luar dengan tetap mengajarkan pelajaran agama," katanya.

Setelah Indonesia merdeka, perhatian terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya lebih meningkat.

Badan Pekerja Komite Indonesia Pusat (BPKIP), misalnya, menerbitkan maklumat tentang perlunya peningkatan pengajaran di madrasah.

Pada 1946 Kementerian Agama resmi berdiri yang antara lain bertugas mengurusi pendidikan agama di sekolah umum dan di sekolah agama (madrasah dan pesantren), ujarnya.

Sayangnya perhatian itu tak berlanjut dan tampak dari UU Pendidikan Nasional No 4/1950 jo UU No 12/1954 yang hanya memasukkan pendidikan agama di sekolah umum, namun soal madrasah dan pesantren tidak dimasukkan sama sekali, ujarnya.

Keppres No 34/1972 dan Inpres No 15/1974 oleh Presiden Soeharto juga dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dan pendidikan nasional yang memunculkan reaksi keras umat Islam.

Untuk meredam reaksi tersebut kemudian muncul Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yakni Menag, Mendikbud dan Mendagri pada 1975 yang mensejajarkan level madrasah dengan sekolah umum seperti Madrasah Ibtidaiyah yang setingkat dengan SD.

SKB itu juga menilai sama ijasah sekolah umum dan madrasah serta membuka peluang siswa madrasah sejajar dan bisa berpindah ke sekolah umum dan sebaliknya.

Namun konsekuensinya, lanjutnya, komposisi kurikulum madrasah 70 persen adalah mata pelajaran umum dan 30 persen pelajaran agama sehingga menambah beban siswa madrasah, di sisi lain 30 persen pelajaran agama termasuk bahasa Arab tak mencukupi lulusan madrasah menjadi calon ulama.

"Perlakuan diskriminatif tetap dirasakan ketika lulusan madrasah melanjutkan ke perguruan tinggi atau dunia kerja," katanya.

Perjuangan mendapat perlakuan sama dicapai ketika keluar UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana madrasah dianggap sebagai sekolah umum berciri khas Islam yang kurikulumnya sama persis dengan sekolah umum namun ditambah pelajaran agama Islam.

"Namun penerapan 100 persen kurikulum sekolah berakibat siswa madrasah dibebani lebih berat dibanding sekolah umum padahal fasilitas belajar lebih buruk, maka kualitas lulusan madrasah pun tidak maksimal dan serba tanggung," katanya.

UU Sisdiknas No 20/2003 sebenarnya semakin mengurangi ketimpangan yang ada dengan memasukkan pendidikan keagamaan dalam bagian tersendiri, namun demikian tetap sulit meningkatkan citra madrasah menjadi lebih tinggi.

"Sampai sekarang diskriminasi tetap terjadi, termasuk perhatian Pemda-pemda yang masih kurang, misalnya Pemda DKI yang hanya memberi tunjangan kepada guru sekolah agama Rp750 ribu (per tahun -red), sementara guru sekolah umum diberi tunjangan Rp1 juta," katanya. (*/lpk)

http://www.kapanlagi.com/newp/h/0000081622.html

Mendiknas: Tidak Ada Diskriminasi Kesempatan Pendidikan

05 November 2009 oleh Jardiknas

Jakarta, Selasa (3 November 2009)—Terjemahan dari pendidikan untuk semua (Education for All) dapat diartikan sebagai...

tidak adanya diskriminasi kesempatan pendidikan. Kebijakan non-diskriminasi ini mencakup kewilayahan, jenis pendidikan, maupun status sosial.

Hal tersebut disampaikan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh saat memberikan keterangan pers usai membuka Seminar Internasional dan Kunjungan Lapangan ke Madrasah di Indonesia oleh Negara-Negara E-9 di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (3/11/2009).

"Jangan sampai karena ada perbedaan wilayah kota dan desa maka seseorang tidak bisa sekolah. Tidak boleh (ada) diskriminasi (pendidikan) keagamaan dan umum. Gara-gara dia sekolah di madrasah, pemerintah tidak mengakui atau rakyat tidak mengakui. Tidak boleh itu," katanya.

Mendiknas mengatakan, pendidikan keagamaan dengan pendidikan umum sifatnya adalah komplementer dari sistem pendidikan secara keseluruhan. Menurut Mendiknas, perbedaan status sosial seseorang juga tidak boleh dijadikan alasan diskriminasi kesempatan pendidikan. "Intinya jangan karena ada perbedaan negeri dan swasta dan macam-macam menyebabkan seseorang tidak memiliki kesempatan untuk bersekolah," tegasnya.

Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali mengatakan, pendidikan keagamaan di Indonesia merupakan subsistem dari pendidikan nasional. Menag menyebutkan, saat ini terdapat lebih dari enam juta anak usia sekolah yang belajar di madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah aliyah tersebar di lebih dari 58.000 madrasah. "Lebih dari itu, jutaan pelajar menempuh pendidikan baik di pondok pesantren maupun sekolah tinggi Islam," katanya.

Menag menyampaikan, model pendidikan di madrasah dianggap unik oleh negara-negara E-9 yang beranggotakan sembilan negara berpenduduk terbesar di dunia. Negara-negara itu adalah Bangladesh, Brazil, Cina, India, Indonesia, Meksiko, Mesir, Nigeria, dan Pakistan.

"Mereka sangat tertarik pada pendidikan yang disebut madrasah. Ada keunikan menurut pandangan mereka terhadap madrasah di Indonesia," katanya.

Menag mengatakan, penyelenggaraan pendidikan di madrasah mengacu pada standar nasional pendidikan yaitu pada kurikulum, infrastruktur, pendidik dan staff , manajemen, pengelolaan keuangan, dan sistem evaluasi."Namun demikian, pendidikan madrasah lebih banyak mengintegrasikan pendidikan keagamaan dibandingkan sistem pendidikan lainnya," katanya.

Menteri Pendidikan Nigeria Hajiya Aishatu Jibril Duku menyatakan ketertarikannya terhadap pendidikan madrasah di Indonesia. "Saya senang dapat mengunjungi beberapa madrasah di Indonesia untuk melihat bagaimana pembangunan infrastrukturnya dan dapat mengambil manfaat dari pengalaman Indonesia," katanya.

Hajiya menyebutkan, Nigeria berpenduduk 140 juta orang dan 24,6 juta diantaranya adalah pelajar sekolah dasar. Sementara, kata dia, sebanyak 10 juta belajar di pendidikan Islamiyah. Dia mengatakan, pemerintah Nigeria saat ini mengembangkan pendidikan ke-Islaman dan mendukung transformasi sekolah tradisional menjadi sekolah modern.

Ketua Pelaksana Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rahman menyampaikan, beberapa wakil dari negara E-9 yaitu Nigeria, Pakistan, dan India, akan mengadakan kunjungan ke Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia di Serpong, Banten, Pondok Pesantren Al Masturiyah di Sukabumi, Jawa Barat, dan Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Beberapa negara lain yang turut dalam kunjungan ini adalah Amerika, Filiphina, Malaysia, dan Afghanistan.
Sumber:
http://disdik.sumutprov.go.id/berita.php?idb=11

MEMBEDAH AKAR MASALAH MADRASAH

Oleh: Silfia Hanani


Tulisan Hilmi Muhammadiyah pada 5 Januari 2007 di bawah tajuk Mengakhiri Diskrimininasi Terhadap Madrasah sebanarnya bukanlah sebuah isu yang baru, tetapi isu lama yang tidak pernah teselesaikan sehingga madrasah berlarut-larut dalam masalahnya sendiri.
Permasalahan itu menurut Hilmi sebagai akibat daripada adanya hegemoni kekuasaan, pertama terlihat melalui aturan main kurikulum madrasah yang “banci” dan kedua melalui pembiayaan madrasah yang bertendensi dikhotomi jika dibandingkan dengan sekolah umum.
Keadaan yang demikian menjadikan madrasah tumbuh dan berkembang ibarat pepatah hidup segan mati tak mau. Dalam kondisi seperti ini, betulkah hegemoni kekuasaan dan dikhotomi kebijakan sebagai penyebab “runtuhnya” kualitas madrasah? Menjawab permasalahan ini perlu dilakukan pendekatan ruang-waktu, sehingga ditemukan varian-varian lain yang ikut dominan penyebab terperlesetnya mutu madrasah.
Di Indonesia sebelum populer madrasah telah berkembang institusi pendidikan Islam lokal yang independen. Di Minangkabau misalnya, telah muncul institusi pendidikan Islam surau, di pulau Jawa lebih populer pondok pesantren. Institusi pendidikan Islam lokal tersebut, telah berhasil memembangun sumber daya umat Islam pada zamannya. Tetapi ketika datangnya kolonialisme memperkenalkan sistem pendidikan modren, institusi lokal mulai buyar dan mulai dipandang sebagai institusi pendidikan kelas dua oleh masyarakat.
Setidaknya ada dua permasalahan yang membuyarkan, pertama pendidikan Islam lokal yang independen itu lebih bersifat tekstual, sementara alam kehidupan berkembang dengan begitu cepat, perkembangan itu selalu menuntut kearah penguasaan materialisme. Konsep penguasaan “materialisme” inilah yang kurang dalam institusi pendidikan Islam ketika itu. Fenomena yang demikian oleh kolonialisme dijelaskan dengan Islam ortodok, Umat Islam yang tidak mau memberikan ruang hidupnya kepada dimensi kompetisi dunia. Disinilah awal kekalahan teori pendidikan umat Islam dalam penguasaan dunia, sehingga dalam rentang waktu yang begitu mensejarah di negara ini tidak lahir teori-teori lokal yang berasaskan Islam tentang penguasaan material ini. Akhirnya berpengaruh terhadap keberadaan sekolah agama. Sekolah agama diorientasikan sekolah “akhirat”, image semacam itu berkembang luas dalam masyarakat Indonesia yang mengalami perubahan besar.
Kedua, pengelolaan madrasah yang stagnan dan tidak mampu meracik sistem reinventing, sehingga madrasah tidak mampu mengikuti perubahan masyarakat yang begitu cepat dan kompleks. Baru sekitar awal abad 19 setelah kembalinya para pelajar Indonesia menuntut ilmu di beberapa negara Timur Tengah termasuk di Mesir, institusi pendidikan Islam mulai diperbaharui dengan cara mengadopsi sistem pendidikan Timur Tengah tersebut, sehingga madrasah menjadi populer. Madrasah berkembang di berbagai kawasan di Indonesia, di Sumatera Barat waktu itu ikon madrasah dipegang oleh Sumatera Thawalib, Diniyah Putra dan Putri.
Namun setelah Indonesia merdeka, institusi-institusi pendidikan Islam ini memasuki dunia politik, pasang surut kualitas madrasah semakin tampak. Jati diri madrasah terombang ambing kedalam dua kepentingan yang tidak berkesudahan, antara kepentingan politik dan umat. Tarik menarik dua kepentingan ini, nampaknya ikut memberikan peluang tidak bergimingnya madrasah sebagai agent transformasi sosial umat Islam di Indonesia, sementara sekolah-sekolah umum yang modern semakin menampakkan jati dirinya seperti yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai penyelamat dunia material. Imege terhadap madrasah mulai berkurang, masyarakat lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah umum ketimbang ke madrasah.
Keadaan kualitas madrasah yang tidak stabil itu akahirnya masuk dalam cakrawala nasional, sehingga madrasah menjadi objek dalam sistem pendidikan nasional. Oleh sebab itulah, terjadi perubahan-perubahan kurikulum dalam madrasah. Madrasah mulai menghadapi kurikulum keberimbangan, antara pendidikan umum dan pendidikan agama, kemudian dipercepatlah menjadi 70% pendidikan umum dan 30% pendidikan agama, dengan tujuan untuk memicu lari mutu madrasah dan skaligus untuk menghilangkan stigma masyarakat yang memandang madrasah sebagai kelas pendidikan nomor dua.
Dibalik pergerakan perubahan itu, apa sesungguhnya yang terjadi. Mutu madrasah tetap saja berjalan ditempat. Malah madrasah kehilangan jati dirinya sebagai institusi yang fokus dengan pendidikan Islam. Untuk mengkonter kondisi tersebut maka lahirlah madrasah khusus, terutama pada tingkat aliyah, yang fokus dengan pendidikan agama Islam. Namun, madrasah-madrasah yang setengah umum dan setengah agama tetap berada dalam muara kebingungan dan jati dirinya yang tidak jelas.

Membebaskan Madrasah
Menilik daripada perjalanan jatuh bangunnya madrasah dalam pentas pendidikan di Indonesia, sebuah kesimpulan yang perlu di bebaskan adalah kultur madrasah yang soft culture, yaitu adanya sebuah budaya kelemahkarsaan dalam membangun jati dirinya, sehingga madrasah terombang ambing dalam kecepatan perubahan yang terjadi.
Sesungguhnya Departemen Agama yang pada umumnya sebagai pemilik madrasah sudah harus mempunyai ruang wacana yang konstruktif ke arah mana madrasah ini digiring sehingga madrasah mampu tampil dengan jati dirinya yang sesungguhnya, tidak bermain dalam “ikut-ikutan”, seperti yang terlihat selama ini.
Permasalahan mutu, harus dilihat secara holistik, tidak hanya dilihat dari segi minimnya dana pendidikan yang dikucurkan pemerintah tetapi juga harus dilihat dari peta “dalam” yang berlaku dalam madrasah. Penglihatan peta dalam ini, yang paling urgen tentang bagaimana madrasah berkontestasi selama ini perlu dicerna oleh Depertemen Agama.

Sumber:
http://silfiahananisyafei.blogspot.com/2007/03/membedah-akar-masalah-madrasah.html

Menag: Kualitas Madrasah masih Rendah

JAKARTA--Menteri agama Suryadharma Ali menegaskan bahwa sejumlah hal yang dihadapi oleh bidang pendidikan agama dan keagaamaan antara lain adalah masih rendahnya kualitas dan daya saing madrasah dan perguruan tinggi agama dalam memberikan layanan pendidikan. Ini ditegaskan Menag di Jakarta kemarin.

''Juga belum optimalnya layanan pendidikan agama, masih rendahnya kualifikasi dan profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan,'' papar Menag. Selain itu menurut Menag, masih rendahnya mutu lulusan madrasah dan perguruan tinggi agama dan rendahnya mutu pengelolaan pendidikan agama dan keagamaan.

Program 100 hari

Dikatakan Menag, dalam program 100 hari jajaran Depag, antara lain adalah menyiapkan kebijakan pendidikan di pesantren dan madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. ''Kegiatan yang dilakukan adalah menyiakan kebijakan pengelolaan pendidikan di pondok pesantren dan madrasah,'' tanas Menag.

Selain itu menurut Menag, menyiapkan kebijakan pengelolaan pendidikan di pondok pesantren dan madrasah secara terintegrasi dengan pendidikan di sekolah dan pendidikan agama dalam kontels otonomi daerah. osa/taq

Jumat, 13 November 2009 pukul 15:23:00
Sumber:
http://www.republika.co.id/berita/89175/Menag_Kualitas_Madrasah_masih_Rendah

Rabu, 04 November 2009

“JENIS JENIS PHOBIA”

Takut Air – Hydrophobia,
Takut Agama – Theologicophobia,
Takut Alat Kelamin – Kolpophobia,
Takut Aliran Udara – Aerophobia,
Takut Alkohol – Methyphobia,
Takut Alkohol – Potophobia,
Takut Amnesia – Amnesiphobia,
Takut Anggur – Oenophobia,
Takut Angin – Ancraophobia,
Takut Angka – Arithmophobia,
Takut Angka 13 – Triskaidekaphobia,
Takut Angka 8 – Octophobia,
Takut Anjing – Cynophobia,
Takut Anjing Laut – Lutraphobia,
Takut Anus – Rectophobia,
Takut Api – Arsonphobia,
Takut Api – Pyrophobia,
Takut Awan – Nephophobia,
Takut Ayam – Alektorophobia,
Takut Ayan – Hylephobia,
Takut Badut – Coulrophobia,
Takut Bahan Kimia - Chemophobia,
Takut Bangunan Tinggi – Batophobia,
Takut Banjir – Antlophobia,
Takut Bapak Tiri – Vitricophobia,
Takut Batu Nisan – Placophobia,
Takut Bau Badan – Bromidrosiphobia,
Takut Bau Bauan – Olfactophobia,
Takut Bau Busuk – Autodysomophobia,
Takut Bawa Mobil - Amaxophobia,
Takut Bawang Putih – Alliumphobia,
Takut Bayangan – Sciaphobia,
Takut Bebas – Eleutherophobia,
Takut Belanda – Dutchphobia,
Takut Benang – Linonophobia,
Takut Benda di Sebelah Kanan – Dextrophobia,
Takut Benda di Sebelah Kiri – Levophobia,
Takut Berantakan – Ataxophobia,
Takut Berbicara – Laliophobia,
Takut Bercinta – Malaxophobia,
Takut Bercinta – Sarmassophobia,
Takut Berdosa – Hamartophobia,
Takut Berfikir – Phronemophobia,
Takut Berita Baik – Euphobia,
Takut Berjalan – Stasibasiphobia,
Takut Berjanji – Enissophobia,
Takut Berkotbah – Homilophobia,
Takut Berlarut – Apeirophobia,
Takut Bersenggama – Coitophobia,
Takut Bertanggung Jawab – Hypegiaphobia,
Takut Binatang – Zoophobia.
Takut Binatang Liar – Agrizoophobia,
Takut Binatang Melata – Herpetophobia,
Takut Bintang – Astrophobia,
Takut Bintang – Siderophobia,
Takut Bintang Berekor – Cometophobia,
Takut Bom Atom – Atomosophobia,
Takut Boneka – Pediophobia,
Takut Boneka Bersuara Perut – Automatonophobia,
Takut Bosan – Xerophobia,
Takut Botak – Phalacrophobia,
Takut Buang Air Besar – Rhypophobia,
Takut Buku – Bibliophobia,
Takut Bulan – Selenophobia,
Takut Bulu Ayam – Pteronophobia,
Takut Bunga – Anthophobia,
Takut Bunga Es – Pagophobia,
Takut Bungkuk – Kyphophobia,
Takut Burung – Ornithophobia,
Takut Buta – Scotomaphobia,
Takut Cabut Gigi – Odontophobia,
Takut Cacing – Helminthophobia,
Takut Cacing – Scoleciphobia,
Takut Cacing Pita – Taeniophobia,
Takut Cacing Pita Babi – Trichinophobia,
Takut Cahaya – Photophobia,
Takut Cahaya dari Utara – Auroraphobia,
Takut Caplak – Phthiriophobia,
Takut Cemburu – Zelophobia,
Takut Cermin – Catoptrophobia,
Takut Cina – Sinophobia,
Takut Corak Baru - Cainophobia
Takut Daerah Perbatasan – Claustrophobia,
Takut Daging – Carnophobia,
Takut Dagu – Geniophobia,
Takut Danau – Limnophobia,
Takut Darah – Hemaphobia,
Takut Debu – Amathophobia,
Takut Debu – Koniophobia,
Takut Demam – Febriphobia,
Takut Demam – Fibriophobia,
Takut Demo – Daemonophobia,
Takut dengan Seks – Erotophobia,
Takut Dewa – Zeusophobia,
Takut Di dalam Rumah – Oikophobia,
Takut di Ejek – Katagelophobia,
Takut di Hipnotis – Hynophobia,
Takut Di pandang – Opthalmophobia,
Takut Diabaikan – Athazagoraphobia,
Takut Dibatasi – Merinthophobia,
Takut Dibenci – Melophobia,
Takut Dicekik – Pnigophobia,
Takut Dicuri – Cleptophobia,
Takut Dihukum – Mastigophobia,
Takut Dihukum Berat – Rhabdophobia,
Takut Dikubur Sendirian – Taphephobia,
Takut Diluar Ruangan – Spacephobia,
Takut Dingin – Cheimaphobia,
Takut Dingin – Psychrophobia,
Takut Dinilai Negatif – Socialphobia,
Takut Diracun – Toxicophobia,
Takut Dirampok – Harpaxophobia,
Takut Disentuh – Aphenphosmphobia,
Takut Disentuh - Chiraptophobia,
Takut Disentuh – Haphephobia,
Takut Disuntik – Trypanophobia,
Takut Ditatap – Scopophobia,
Takut Ditertawakan – Catagelophobia,
Takut Ditinggal Sendiri – Eremophobia,
Takut Dokter Gigi – Dentophobia,
Takut Dubur – Proctophobia,
Takut Duduk – Cathisophobia,
Takut Duduk – Taasophobia,
Takut Duduk di Bawah – Kathisophobia,
Takut Emas – Aurophobia,
Takut Es Batu – Cryophobia,
Takut Fenomena Kosmis – Kosmikophobia,
Takut Filosofi – Philosophobia,
Takut Gagal – Atychiphobia,
Takut Gagap – Psellismophobia,
Takut Gatal – Acarophobia,
Takut Gatal – Pellagrophobia,
Takut Gedung Pertunjukan – Theatrophobia,
Takut Gelap – Achluophobia,
Takut Gelap – Lygophobia,
Takut Gelas – Hyelophobia,
Takut Gelombang – Kymophobia,
Takut Gembira – Cherophobia,
Takut Gerakan – Kinetophobia,
Takut Gereja – Ecclesiophobia,
Takut Getaran – Tremophobia,
Takut Gravitasi – Barophobia,
Takut Guntur – Ceraunophobia,
Takut Halloween – Samhainophobia,
Takut Hamil – Tocophobia,
Takut Hantu – Bogyphobia,
Takut Hantu – Phasmophobia,
Takut Hantu – Spectrophobia,
Takut Hujan – Ombrophobia,
Takut Hujan – Pluviophobia,
Takut Hukum – Dikephobia,
Takut Hukuman – Poinephobia,
Takut Hutan – Hylophobia,
Takut Hutan – Xylophobia,
Takut Hutan di Malam Hari – Nyctophobia,
Takut Ibu Tiri – Novercaphobia,
Takut Ide – Ideophobia,
Takut Ide Baru – Cenophobia,
Takut Ikan – Ichthyophobia,
Takut Inggris – Anglophobia,
Takut Insektisida – Entomophobia,
Takut Istilah Latin – Hellenologophobia,
Takut Jadi Gila – Lysssophobia,
Takut Jadi Homoseks – Homophobia,
Takut Jahudi – Judeophobia,
Takut Jalan – Ambulophobia,
Takut Jamur – Mycophobia,
Takut Jarum – Aichmophobia,
Takut Jatuh - Basiphobia
Takut Jatuh Cinta – Philophobia,
Takut Jelek – Cacophobia,
Takut Jembatan Penyeberangan – Gephydrophobia,
Takut Jenggot – Pogonophobia,
Takut Jenis Kelamin Berbeda – Heterophobia,
Takut Jepang – Japanophobia,
Takut Jerman – Germanophobia,
Takut Jerman – Teutophobia,
Takut Jomblo – Anuptaphobia,
Takut Jum’at ke 13 – Paraskavedekatriaphobia,
Takut Kabut – Homichlophobia,
Takut Kacang – Arachibutyrophobia,
Takut Kaget – Hormephobia,
Takut Kain Lap – Vestiphobia,
Takut Kain Satin – Satanophobia,
Takut Kalah – Kakorrhaphiophobia,
Takut Kanker - Carcinophobia,
Takut Kanker – Cancerophobia,
Takut Kata Kata – Logophobia,
Takut Kata Kata – Verbophobia,
Takut Kata Panjang – Hippopotomonstrosesquippedaliophobia,
Takut Kata yang Panjang – Sesquipedalophobia,
Takut Katak – Ranidaphobia,
Takut Kaya – Plutophobia,
Takut Ke Sekolah – Didaskaleinophobia,
Takut Kecelakaan – Dystychiphobia,
Takut Kedalaman – Bathophobia,
Takut Kedokter – Iatrophobia,
Takut Kegelapan – Myctophobia,
Takut Kegelapan – Scotophobia,
Takut Kejatuhan Benda – Atephobia,
Takut Kekacauan – Demophobia,
Takut Kelahiran – Parturiphobia,
Takut Kelainan Bentuk – Dysmorphophobia,
Takut Kelamin Wanita – Eurotophobia,
Takut Kemajuan – Prosophobia,
Takut Kembali ke Rumah – Nostophobia,
Takut Kembung – Anginophobia,
Takut Kencing – Urophobia,
Takut Keramaian – Agoraphobia,
Takut Kerang-Kerangan – Ostraconophobia,
Takut Kereta Api – Diderodromophobia,
Takut Keriput – Rhytiphobia,
Takut Kerja Berlebihan – Ponophobia,
Takut Kertas – Papyrophobia,
Takut Kesakitan – Agliophobia,
Takut Ketinggian – Altophobia,
Takut Ketinggian – Hypsiphobia,
Takut Ketularan – Tapinophobia,
Takut Keturunan – Patroiophobia,
Takut Kezaliman – Tyrannophobia,
Takut Kilat – Brontophobia,
Takut Kodok – Bufonophobia,
Takut Komputer – Cyberphobia,
Takut Komputer – Logizomechanophobia,
Takut Kotor – Automysophobia,
Takut Kotoran – Myxophobia,
Takut Kriminal – Peccatophobia,
Takut Kristal – Crystallophobia,
Takut Kuburan – Coimetrophobia,
Takut Kucing – Ailurophobia,
Takut Kucing – Elurophobia,
Takut Kucing – Felinophobia,
Takut Kuda – Equinophobia,
Takut Kuda – Hippophobia,
Takut Kulit Binatang – Doraphobia,
Takut Kuman – Spermatophobia,
Takut Kunci - Chronomentrophobia,
Takut Kutu – Pediculophobia,
Takut Laba Laba – Arachnophobia,
Takut Laki Laki – Androphobia,
Takut Laki Laki – Arrhenophobia,
Takut Lampu Sorot – Selaphobia,
Takut Laut – Thalassophobia,
Takut Lawan Jenis – Sexophobia,
Takut Lebah – Apiphobia,
Takut Lecet – Amychophobia,
Takut Lelah – Kopophobia,
Takut Lembab – Hygrophobia,
Takut Lengket di Langit Mulut – Arachibutyrophobia,
Takut Listrik – Enochlophobia,
Takut Logam – Metallophobia,
Takut Lompat – Catapedaphobia,
Takut Luka – Dematophobia,
Takut Luka – Traumatophobia,
Takut Lumpuh – Poliosophobia,
Takut Lumpur – Blennophobia,
Takut Lutut - Genuphobia,
Takut Mabuk Udara – Aeronausiphobia,
Takut Makan – Phagophobia,
Takut Makan – Sitiophobia,
Takut Makanan - Cibophobia,
Takut Makanan – Sitophobia,
Takut Mal Praktek – Ergasiophobia,
Takut Malam – Noctiphobia,
Takut Maling – Scelerophobia,
Takut Mandek – Ankylophobia,
Takut Mandi - Ablutophobia,
Takut Marah – Angrophobia,
Takut Masak – Mageirocophobia,
Takut Mata Kabur – Diplophobia,
Takut Mata Mata – Ommatophobia,
Takut Matahari – Heliophobia,
Takut Matahari - Phengophobia,
Takut Mati – Necrophobia,
Takut Mati – Thantophobia,
Takut Melahirkan – Lockiophobia,
Takut Melahirkan – Maieusiophobia,
Takut Melarat - Peniaphobia
Takut Melihat Massa – Ochlophobia,
Takut Membelakangi – Dishabiliophobia,
Takut Membuat Keputusan – Decidophobia,
Takut Membuat Perubahan – Tropophobia,
Takut Membuka Satu Mata – Optophobia,
Takut Membusuk – Seplophobia,
Takut Menari - Chorophobia,
Takut Mencium – Philemaphobia,
Takut Mendengar Kata Tertentu – Onomatophobia,
Takut Menderita – Panthophobia,
Takut Menganggur – Domatophobia,
Takut Mengingat – Mnemophobia,
Takut Menikah – Gamophobia,
Takut Menjadi Sakit – Nosemaphobia,
Takut Menstruasi – Monophobia,
Takut Menua – Gerascophobia,
Takut Menulis di Papan – Scriptophobia,
Takut Menunggu Lama – Macrophobia,
Takut Menyeberang – Agyrophobia,
Takut Menyeberang Jalan – Dromophobia,
Takut Merasa Nyaman – Hedonophobia,
Takut Mertua – Pentheraphobia,
Takut Mertua – Soceraphobia,
Takut Mesin – Mechanophobia,
Takut Meteor – Meterorophobia,
Takut Mikroba – Bacillophobia,
Takut Mikroba – Microbiophobia,
Takut Milik – Orthophobia,
Takut Mimisan – Epistaxiophobia,
Takut Mimpi – Oneirophobia,
Takut Mimpi Basah – Oneirogmophobia,
Takut Minum Obat – Pharmacophobia,
Takut Minuman – Dipsophobia,
Takut Mitos – Mythophobia,
Takut Mobil – Motorphobia,
Takut Monster – Teratophobia,
Takut Mukanya Merah – Ereuthophobia,
Takut Mulut Kejang – Tetanophobia,
Takut Muntahan – Emetophobia,
Takut Naik Mobil – Ochophobia,
Takut Naik Pesawat – Aerophobia,
Takut Naik Pesawat – Aviophobia,
Takut Nama Nama – Namatophobia,
Takut Neraka – Hadephobia,
Takut Neraka – Stigiophobia,
Takut Ngaca – Eisoptrophobia,
Takut Ngaceng – Ithypallophobia,
Takut Ngebut – Tachophobia,
Takut Ngengat – Mottophobia,
Takut Noda – Rupophobia,
Takut Nomer – Numerophobia,
Takut Nyeri – Algophobia,
Takut Nyeri – Odynephobia,
Takut Obat Baru – Neopharmaphobia,
Takut Ombak – Cymophobia,
Takut Operasi – Tomophobia,
Takut Orang Asing – Xenophobia,
Takut Orang Asing – Xenophobia,
Takut Orang Botak – Peladophobia,
Takut Orang Buntung - Apotemnophobia,
Takut Orang Suci – Hagiophobia,
Takut Otot Gerak Sendiri – Ataxiophobia,
Takut Panas – Thermophobia,
Takut Parasit – Parasitophobia,
Takut Paus – Papaphobia,
Takut Pelecehan Seksual – Agraphobia,
Takut Pelecehan Seksual – Contreltophobia,
Takut Peluru – Ballistophobia,
Takut Pembicaraan Dinner – Deipnophobia,
Takut Pemerkosa – Virginitiphobia,
Takut Pendapat – Allodoxaphobia,
Takut Pendeta – Hierophobia,
Takut Pengemis – Hobophobia,
Takut Pengetahuan – Epistemphobia,
Takut Pengetahuan – Gnosiophobia,
Takut Penis – Phallophobia,
Takut Penis Berdiri – Medorthophobia,
Takut Penis Loyo – Medomalacuphobia,
Takut Penyakit – Pathophobia,
Takut Penyimpangan Seks – Paraphobia,
Takut Peralatan Listrik – Electrophobia,
Takut Perancis – Francophobia,
Takut Perjalanan – Hodophobia,
Takut Perkara Hukum – Liticaphobia,
Takut Perubahan – Metathesiophobia,
Takut Petir – Astrapophobia,
Takut Pikiran – Psychophobia,
Takut Pin – Balenephobia,
Takut Pin – Enetophobia,
Takut Pingsan – Ashenophobia,
Takut Pohon – Dendrophobia,
Takut Politikus – Politicophobia,
Takut Pria – Hominophobia,
Takut Puisi – Mertophobia,
Takut Pusaran Air – Dinophobia,
Takut Rabies – Hydrophobophobia,
Takut Rabies – Kynophobia,
Takut Racun – Iophobia,
Takut Racun - Toxiphobia
Takut Rambut – Chaetophobia,
Takut Rambut – Trichopathophobia,
Takut Rasa – Geumaphobia,
Takut Rayap – Isopterophobia,
Takut Reptil - Batrachophobia,
Takut Reptil – Herpetophobia,
Takut Ruang Kosong – Cenophobia,
Takut Ruangan – Koinoniphobia,
Takut Ruangan Kosong – Kenophobia,
Takut Rumah – Ecophobia,
Takut Rumah Sakit – Nosocomephobia,
Takut Rusia – Russophobia,
Takut Sakit Demam – Pyrexiophobia,
Takut Sakit Diabetes – Diabetophobia,
Takut Sakit Ginjal – Albuminurophobia,
Takut Sakit Jantung – Cardiophobia,
Takut Sakit Jiwa – Dementophobia,
Takut Sakit Jiwa – Maniaphobia,
Takut Sakit Kelamin – Cyprianophobia,
Takut Sakit Kolera - Cholerophobia,
Takut Sakit Kulit – Dermatophathophobia,
Takut Sakit Kusta – Leprophobia,
Takut Sakit Otak – Meningitiophobia,
Takut Sakit Syphilis – Syphilophobia,
Takut Sakit Syphillis – Luiphobia,
Takut Salib – Staurophobia,
Takut Salju – Chionophobia,
Takut Sama Gadis – Parthenophobia,
Takut Sapi Jantan – Taurophobia,
Takut Saudara – Syngenesophobia,
Takut Sayuran – Lachanophobia,
Takut Segala Sesuatu – Polyphobia,
Takut Segalanya – Panophobia,
Takut Sekitar Rumah – Eicophobia,
Takut Sekitar Rumah – Oikophobia,
Takut Sekolah – Scoionophobia,
Takut Seks – Genophobia,
Takut Semangat – Pneumatiphobia,
Takut Semut – Myrmecophobia,
Takut Sendiri – Isolophobia,
Takut Sendirian – Autophobia,
Takut Sendirian – Monophobia,
Takut Senjata Api – Hoplophobia,
Takut Senjata Nuklir – Nucleomituphobia,
Takut Sepeda – Cyclophobia,
Takut Serangga – Epistaxiophobia,
Takut Serangga – Insectophobia,
Takut Seruling – Aulophobia,
Takut Sesuatu dari Kiri – Sinistrophobia,
Takut Sesuatu yang Baru – Kainolophobia,
Takut Sesuatu yang Baru – Neophobia,
Takut Sesuatu yang Besar – Megalophobia,
Takut Sesuatu yang Kecil – Microphobia,
Takut Silau – Photoaugliaphobia,
Takut Simbol – Symbolophobia,
Takut Simetris – Symmetrophobia,
Takut Sinar X – Radiophobia,
Takut Situasi yang Menakutkan – Counterphobia,
Takut Skabies – Scabiophobia,
Takut Suara – Acousticophobia,
Takut Suara Keras – Ligyrophobia,
Takut Suara Telpon – Phonophobia,
Takut Subuh – Eosophobia,
Takut Sungai – Potamophobia,
Takut Surga – Ouranophobia,
Takut Surga – Uranophobia,
Takut Susah Be’ol – Coprastasophobia,
Takut Tabuhan – Spheksophobia,
Takut Tai – Coprophobia,
Takut Takut Anak Anak – Pedophobia,
Takut Tali – Cnidophobia,
Takut Tambah Berat – Obesophobia,
Takut Tambah Berat – Pocrescophobia,
Takut Tanaman – Batonophobia,
Takut Tangga – Climacophobia,
Takut Tanggung Jawab – Paralipophobia,
Takut Tantangan – Heresyphobia,
Takut Tawon – Melissophobia,
Takut TBC – Phthisiophobia,
Takut TBC – Tuberculophobia,
Takut Tebing – Cremnophobia,
Takut Teknologi – Technophobia,
Takut Tekstur Tertentu – Textophobia,
Takut Telanjang – Gymnophobia,
Takut Telanjang – Nudophobia,
Takut Telpon – Telephophobia,
Takut Tempat Sempit – Stenophobia,
Takut Tempat Terbuka – Agoraphobia,
Takut Tempat Tertentu – Topophobia,
Takut Tempat Tertutup – Claustrophobia,
Takut Tempat Tinggi Terbuka – Aeroacrophobia,
Takut Terbahak – Geliophobia,
Takut Terbang – Pteromerhanophobia,
Takut Tergantung pada Orang – Soteriophobia,
Takut Terkontaminasi Debu – Misophobia,
Takut Terkunci – Cleisiophobia,
Takut Tidak Sempurna – Atelophobia,
Takut Tidak Simetris – Asymmetriphobia,
Takut Tidur – Clinophobia,
Takut Tidur – Somniphobia,
Takut Tikus – Murophobia,
Takut Tikus – Suriphobia,
Takut Tikus Besar – Zemmiphobia,
Takut Tornado – Lilapsophobia,
Takut Tuhan – Theophobia,
Takut Tulisan Tangan – Graphophobia,
Takut Tuma – Verminophobia,
Takut Uang - Chrematophobia,
Takut Ujian – Tertaphobia,
Takut Ular – Ophidiophobia,
Takut Ular – Snakephobia,
Takut Upacara Seremonial – Teleophobia,
Takut Vaksinasi – Vaccinophobia,
Takut Vertigo – Illyngophobia,
Takut Waktu - Chronophobia,
Takut Wangi-Wangian – Osphesiophobia,
Takut Wanita – Gynephobia,
Takut Wanita Cantik – Caligynephobia,
Takut Wanita Cantik – Venustraphobia,
Takut Wanita Sihir – Vitricophobia,
Takut Warga – Anthropophobia,
Takut Warna - Chromatophobia,
Takut Warna Hitam – Melanophobia,
Takut Warna Kuning – Xanthophobia,
Takut Warna Putih – Leukophobia,
Takut Warna Ungu – Porphyrophobia,
Takut Wayang – Pupaphobia.

Rabu, 21 Oktober 2009

Seminar dan Pelatihan Tingkat Nasional

PGM Kab. Sukabumi kembali mengadakan kegiatan Seminar dan Pelatihan Manajemen Pembelajaran Tingkat Nasional. Acara yang diadakan pada Selasa-Kamis, 20-22 Oktober 2009, mengambil tempat di Gedung Serbaguna Qolbun Salim Kota Sukabumi.

Sabtu, 26 September 2009

Kompetensi Kepribadian Guru

I. PRIBADI GURU.

Adalah sangat penting seorang guru memiliki sikap yang dapat mempribadi sehingga dapat dibedakan ia dengan guru yang lain. Memang, kepribadian menurut Zakiah Darajat disebut sebagai sesuatu yang abstrak, sukar dilihat secara nyata, hanya dapat diketahui lewat penampilan, tindakan, dan atau ucapan ketika menghadapi suatu persoalan, atau melalui atasannya saja.

Kepribadian mencakup semua unsur, baik fisik maupun psikis. Sehingga dapat diketahui bahwa setiap tindakan dan tingkah laku seseorang merupakan cerminan dari kepribadian seseorang, selama hal tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran. Setiap perkataan, tindakan, dan tingkah laku positif akan meningkatkan citra diri dan kepribadian seseorang. Begitu naik kepribadian seseorang maka akan naik pula wibawa orang tersebut.

Kepribadian akan turut menetukan apakah para guru dapat disebut sebagai pendidik yang baik atau sebaliknya, justru menjadi perusak anak didiknya. Sikap dan citra negative seorang guru dan berbagai penyebabnya seharusnya dihindari jauh-jauh agar tidak mencemarkan nama baik guru. Kini, nama baik guru sedang berada pada posisi yang tidak menguntungkan, terperosok jatuh. Para guru harus mencari jalan keluar atau solusi bagaimana cara meningkatnya kembali sehingga guru menjadi semakin wibawa, dan terasa sangat dibutuhkan anak didik dan masyarakat luas. Jangan sebaliknya.

Guru sebagai teladan bagi murid-muridnya harus memiliki sikap dan kepribadian utuh yang dapat dijadikan tokoh panutan idola dalam seluruh segi kehidupannya. Karenanya guru harus selalu berusaha memilih dan melakukan perbuatan yang positif agar dapat mengangkat citra baik dan kewibawaannya, terutama di depan murid-muridnya. Disamping itu guru juga harus mengimplementasikan nilai-nilai tinggi terutama yang diambilkan dari ajaran agama, misalnya jujur dalam perbuatan dan perkataan, tidak munafik. Sekali saja guru didapati berbohong, apalagi langsung kepada muridnya, niscaya hal tersebut akan menghancurkan nama baik dan kewibawaan sang guru, yang pada gilirannya akan berakibat fatal dalam melanjutkan tugas proses belajar mengajar.

Guru yang demikian niscaya akan selalu memberikan pengarahan kepada anak didiknya untuk berjiwa baik juga. Hampir sulit ditemukan munculnya guru yang memiliki keinginan buruk terhadap muridnya. Dalam menggerakkan murid, guru juga dianggap sebagai partner yang siap melayani, membimbing dan mengarahkan murid, bukan sebaliknya justru menjerumuskannya. Djamarah dalam bukunya “ Guru dan Anak didik Dalam Interaksi Edukatif” menggambarkan bahwa : Guru adalah pahlawan tanpa pamrih, pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan ilmu, pahlawan kebaikan, pahlawan pendidikan, makhluk serba biasa, atau dengan julukan yang lain seperti artis, kawan, warga Negara yang baik, pembangun manusia, pioneer, terpercaya, dan sebagainya”.

Lebih lanjut Djamarah mengisahkan bahwa guru memiliki atribut yang lengkap dengan kebaikan, ia adalah uswatun hasanah walau tidak sesempurna Rasul. Betapa hebat profesi guru, dan tidak dapat ditemukan dalam berbagai profesi lainnya. Karenanya berbagai bentuk pengabdian ini hendaknya dilanjutkan dengan penuh keikhlasan, dengan motivasi kerja untuk membina jiwa dan watak anak didik, bukan sekedar untuk mencari uang.

Guru yang professional adalah guru yang siap untuk memberikan bimbingan nurani dan akhlak yang tinggi kepada muridnya. Karena pendidikan dana bimbingan yang diberikan bersumber dari ketulusan hati, maka guru benar-benar siap sebagai spiritual fatner bagi muridnya. Guru yang ideal sangat meresa gembira bersama dengan muridnya, ia selalu berinteraksi kepada muridnya, ia merasa happy dapat memberikan obat bagi muridnya yang sedang bersedih hati, murung, berkelahi, malas belajar. Guru professional akan selalu memikirkan bagaimana memacu perkembangan pribadi anak didiknya agar tidak mengalami kendala yang biasa mengganggu.

Kemuliaan hati seorang guru diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Guru secara nyata dapat berbagi dengan anak didiknya. Guru tidak akan merasa lelah dan tidak mungkin mengembangkan sifat iri hati, munafik, suka menggunjing, menyuap, malas, marah-marah dan berlaku kasar terhadap orang lain, apalagi terhadap anak didiknya.

Guru sebagai pendidik dan murid sebagai anak didik dapat saja dipisahkan kedudukannya, akan tetapi mereka tidak dapat dipisahkan dalam mengembangkan diri murid dalam mencapai cita-citanya. Disinilah kemanfaatan guru bagi orang lain atau murid benar-benar dituntut, seperti hadits Nabi :”Khoirunnaasi anfa’uhum linnaas,” artinya adalah sebaik-baiknya manusia adalah yang paling besar memberikan manfaat bagi orang lain. ( Al Hadits ).

II. STEREOTYPE GURU

Stereotype guru adalah hal-hal klise yang sering dilakukan oleh para guru. Yang berkembang dimasyarakat kita adalah adanya suatu anggapan bahwa yang stereotype selalu dianggap benar, sedangkan yang diluar stereotype dianggap salah, sakit, gila dan sebagainya. Banyak orang yang tidak setuju dengan stereotype, mengorbankan dirinya dengan pura-pura mengikuti stereotype supaya ia tidak dianggap menyimpang, aneh ataupun gila. Sebagai contoh stereotype yang dilakukan oleh guru TK. Sang guru berteriak kepada anak didiknya.

“Ayo anak-anak mari kita menggambar pemandangan.” Alkisah, begitulah seorang ibu guru TK atau SD sedang menyuruh anak didiknya untuk memulai menggambar sebuah pemandangan beberapa puluh tahun yang lalu. Sang ibu guru tadi pun memulai memberi contoh menggambar pemandangan. Ada dua buah gunung dengan bentuk segitiga lancip, kemudian ditengahnya terdapat matahari pagi yang mengintip diantara dua gunung tersebut, di atasnya ada awan-awan yang menggantung di angkasa, dan ada pula sekawanan burung yang terbang di angkasa berbentuk seperti angka 3 tidur. Ada juga jalan raya yang mungkin juga lengkap dengan tiang listriknya. Sawah berjajar berkotak-kotak di tepi jalan dengan tanaman padi yang berbentuk seperti huruf V berderet-deret, serta rumah mungil beserta pepohonan pun menghiasi coretan gambar pemandangan tersebut. Tak jarang terdapat aliran sungai yang berkelok-kelok. Sang murid pun dengan serta merta mengikuti pola gambaran pemandangan yang dibuat oleh sang ibu guru tersebut. Dan ajaibnya pola gambar pemandangan seperti ini awet dan senantiasa terjaga kelestariannya hingga saat ini.

Stereotype pemandangan seperti itu yang selalu tertancap erat di ingatan anak-anak Indonesia ketika hendak disuruh mengambar pemandangan.

Pemandangan ya gambar dua buah gunung, ada matahari, jalan, sawah, rumah, awan, burung. Gambar dua gunung ya seperti itulah yang dinamakan dengan pemandangan.

Dalam metodologi pembelajaran, guru seringkali menggunakan metode ceramah untuk menyampaikan materinya karena muncul anggapan bahwa mengajar selalu identik dengan pemberian ceramah, sehingga metode-metode pembelajaran diluar metode ceramah dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan sulit dilakukan.

Sebenarnya stereotype itu tidak sepenuhnya salah karena ada beberapa mata pelajaran yang memang akan berjalan efektif apabila disampaikan dengan cara ceramah, seperti pelajaran sejarah, PKn dan sebagainya, namun menganggap bahwa semua mata pelajaran biasa disampaikan kepada anak didik dengan metode ceramah adalah pembodohan terhadap anak didik itu sendiri. Sekarang ini, seorang guru harus berani meninggalkan stereotype dan berani menggunakan metode-metode modern yang sesuai dengan kebutuhan anak didiknya, agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan maksimal.

III. PROFESI GURU SEBAGAI PILIHAN

Sebelum kita menetapkan apakah mengajar merupakan tugas guru yang termasuk profesi atau tidak atau bahkan sekedar tergolong pekerjaan biasa, kiranya perlu kita ketahui persyaratan yang dibutuhkan dalam sebuah aktivitas termasuk profesi. Belakangan telah sedemikian meluas istilah profesi atau professional dikenal dalam masyarakat. Namun sering kali pemahamannya kurang tepat.

Kini sangat banyak yang menganggap bahwa setiap orang dapat mengerjakan suatu pekerjaan dengan baik, rapi, dan dapat memuaskan orang lain disebut telah melakukan pekerjaan secara professional. Sehingga dengan mudah masyarakat memberikan gelar professional hampir kepada siapa saja, asal dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Tak jarang kita dengar sebutan koruptor professional, pembantu professional, tukang batu professional, sopir professional dan seterusnya. Benarkah sebutan-sebutan tersebut.

Qomari Anwar mendefinisikan profesi adalah sebuah sebutan yang didapat seseorang setelah mengikuti pendidikan, pelatihan ketrampilan dalam waktu yang cukup lama, sehingga dia punya kewenangan memberikan suatu keputusan mandiri berdasarkan kode etik tertentu, yang harus dipertanggungjawabkan sampai kapanpun. Melakukan tugas profesi memperoleh posisi yang prestisius dan mendapat imbalan gaji yang tinggi. Karenanya tidak semua pekerjaan yang ditekuni oleh seseorang walaupun sudah cukup lama otomatis disebut sebagai tugas profesi.

Dalam hal jabatan guru, National Education Association (NEA) (1948) merumuskan bahwa jabatan profesi merupakan jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual, menekuni suatu batang tubuh ilmu tertentu, didahului dengan professional yang lama, memerlukan pelatihan jabatan yang kontinyu, menjanjikan karier bagi anggota secara permanent, mengikuti standar baku mutu tersendiri, lebih mementingkan layanan kepada masyarakat dibanding dengan mencari keuntungan sendiri, dan memiliki suatu organisasi professional yang kuat dan dapat melakukan control terhadap anggota yang melakukan penyimpangan. Dari beberapa pengertian yang disebutkan di atas kini muncul pertanyaan: Apakah tugas mengajar atau jabatan guru dapat termasuk jabatan profesi?

Bisa jadi pertanyaan di atas memicu adanya jawaban yang beraneka ragam berdasarkan kenyataan yang dialami oleh para guru di lapangan. Namun Stinnett menegaskan bahawa jabatan guru sudah dianggap memenuhi criteria jabatan professional, bahkan mengajar bisa disebut sebagai ibu dari segala profesi.

Apalagi setelah disahkannya undang-undang tentang guru dan dosen, maka jabatan guru tidak boleh dipandang sebelah mata oleh siapapun. Karena dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut, jabatan guru sudah merupakan jabatan profesi yang setara dengan jabatan-jabatan profesi lainnya seperti Dokter, Perawat dan lain sebagainya.

Kalau dulu menjadi guru adalah pilihan terakhir ketika pilihan-pilihan utama tidak dapat tercapai, maka dengan diperhatikannya kesejahteraan guru oleh pemerintah, menjadi guru adalah sebuah pilihan yang utama. Jabatan guru merupakan jabatan terhormat dimasyarakat disatu sisi juga menjanjikan masa depan yang lebih terjamin dibanding profesi-profesi lainnya.

IV. DILEMA

Menjadi seorang guru dewasa ini kadang menimbulkan dilema tersendiri, hal ini dikarenakan adanya perbedaan antara guru PNS dan Non PNS. Pemerintah terkesan menganak emaskan guru PNS, disisi lain menganak tirikan guru non PNS. Padahal kalau kita lihat bahwa mengajar disekolah-sekolah swasta jauh lebih sulit dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri, secara administrasi guru-guru Non PNS dituntut secara professional sama dengan guru-guru PNS akan tetapi secara kesejahteraan terjadi kesenjangan yang cukup dalam. Guru PNS mendapatkan berbagai macam tunjangan dari pemerintah pusat atau daerah, sementara guru-guru Non PNS tidak mendapatkan apa-apa.

Ironis memang, tuntutan mencerdaskan anak didik mutlak menjadi tanggung jawab semua guru tanpa kecuali namun dalam kesejahteraan terjadi tebang pilih.

Sehingga yang terjadi banyak guru yang terpaksa mencari pekerjaan sampingan guna menopang kehidupan keluarganya. Akibatnya mereka tidak lagi konsentrasi dalam mengajar anak didiknya namun lebih kepada bagaimana bisa menghidupi keluarganya.

V. Masalah Kesehatan Fisik dan Mental guru

Berdasarkan penelitian guru sangat rentan terhadap penyakit yang berhubungan dengan radang tenggorok sampai sariawan. Hal ini dikarenakan intensitas mengajar yang tinggi tanpa ditopang dengan asupan vitamin yang memadai, akhirnya yang terjadi system immune ( kekebalan ) menurun dan ia menjadi gampang terserang berbagai macam penyakit, terutama dua penyakit di atas.

Disamping factor kesehatan fisik yang terganggu, para guru juga mengalami banyak gangguan mentalnya. Ada kemungkinan, menurut pendapat sejumlah peneliti, bahwa tidak adanya hidup kekeluargaan yang normal dan frustasi dalam hubungan seks yang normal turut menambah gangguan mental guru-guru wanita yang tidak kawin. Guru pria dianggap mempunyai mental yang lebih stabil bila mereka mempunyai keluarga yang normal.

Berdasarkan penelitian itu dapat dibuktikan adanya guru yang mengalami gangguan mental, bahwa ada diantaranya yang memerlukan perawatan psikiater. Akan tetapi penelitian itu tidak menunjukkan apakah gangguan mental itu lebih banyak terdapat di kalangan guru dibandingkan dengan profesi lain. Juga tidak diketahui apakah gangguan mental itu telah ada pada calon guru, nyata atau laten, sebelum ia melakukan profesinya ataukah gangguan mental itu timbul sebagai akibat pekerjaannya sebagai guru. Selanjutnya tidak diketahui hingga manakah gangguan mental itu merugikan murid dan proses belajar mengajar.

DAFTAR BACAAN

  1. Anwar, Qomari, Reorientasi Pendidikan Dan Profesi Keguruan, Jakarta : Uhamka Press, 2002
  2. S. Nasution, Prof.Dr, Sosiologi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 1995
  3. Ramayulis, Prof. Dr, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2002


sumber:

http://tanbihun.com/pendidikan/kompetensi-kepribadian-guru/

Jumat, 25 September 2009

Meningkatkan Mutu Madrasah Melalui Pemberdayaan MGMP



Kebijakan pemerintah meningkatkan mutu madrasah ternyata belum final. Puluhan bahkan ratusan, mungkin juga sudah ribuan kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk mendongkrak mutu madrasah. Pengelolah madrasahpun tidak ketinggalan melakukan inovasi untuk meningkatkan mutu input dan output madrasah. Meskipun demikian, peningkatan mutu madrasah masih kurang memuaskan. Walaupun ada juga beberapa madrasah yang mutunya setingkat dengan sekolah-sekolah dilingkungan Diknas. Namun madrasah yang seperti itu, jumlahnya masih sedikit dan belum representatif.

Diantara sekian banyak faktor yang mempengaruhi mutu madrasah adalah mutu guru. Guru merupakan profesi yang memegang peranan cukup besar dalam dunia pendidikan. Keberhasilan pendidikan di suatu madrasah tidak terlepas dari peranan guru. Tinggi rendahnya mutu pendidikan dimadrasah berkorelasi positif dengan tinggi rendahnya mutu guru. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah dan pengelola madrasah yang terkait dengan peningkatan mutu guru harus diutamakan.

Kesejahteraan guru dimadrasah, baik guru PNS maupun non PNS, dewasa ini mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Gajinya dinaikkan, tunjangan fungsional juga dinaikan. Tidak lama lagi guru-guru swata akan mendapatkan tunjangan dari pemerintah. Apalagi bagi yang lulus sertifikasi, ia akan mendapat tunjangan sebesar satu kali gaji. Sehingga tidak berlebihan bila belakangan ini banyak yang berkeinginan menjadi guru. Setelah sekian lama profesi ini sepi dari peminat yang berbakat. Karena mereka kuatir tidak punyak masa depan yang cerah hidup menjadi guru dengan gaji yang kecil.

Setelah kesejahteraan guru diperhatikan, pertanyaan yang muncul kemudian, jika gaji dan tunjagan para guru naik, apa ada jaminan mutu pendidikan akan naik? Seberapa besar signifikansinya? Mungkinkah bila gaji dan tunjagan guru naik, maka ia akan lebih profesional? Semoga saja ketika gaji dan tunjangan guru dinaikan, kinerjanya lebih profesional dan mutu pendidikan naik.

Kita tentu senang sekali gaji dan tunjangan guru naik. Namun sangat disayangkan bila tidak bisa merubah perilaku guru. Kurikulumya sudah ditetapkan KTSP, tetapi cara mengajar dan mengevaluasi tetap cara lama.Tidak ada kreatifitas yang menunjukkan suatu kemajuan setelah gaji dan tunjagan naik. Dan ironis sekali bila pemerintah sudah terlanjur banyak mengeluarkan biaya, tetapi profesionalme guru belum juga terwujud.

Memang tidak mudah menjadi guru yang profesional. Tetapi bukan berarti tidak bisa diraih. Selagi ada kemauan belajar untuk menguasi materi, metode, cara mengevaluasi, membuka diri untuk menerima hal-hal baru, dan mencoba menerapkan dalam pembelajaran dikelas, lambat laun kita akan menjadi guru yang berkarakter. Yaitu guru yang profesional. Oleh karena itu, pemberdayaan guru adalah suatu keharusan.

Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) merupakan wadah yang cocok untuk pemberdayaaan guru. MGMP adalah forum guru mata pelajaran yang berada pada tingkat kabupaten/ kota/ kecamatan/ madrasah. Anggaotanya semua guru mata pelajaran yang berstatus PNS dan non PNS. Berasal dari semua madrasah baik yang negeri maupun swasta. MGMP sebagai wadah profesi guru prinsip kerjanya dari, oleh, dan untuk guru.

Berdasarkan prinsip kerja, mati hidupnya kegiatan MGMP tergantung dari anggoatanya. Kegiatan MGMP semarak bila anggoatanya aktif menggelar banyak kegiatan. Akan tetapi bila kesadaran anggoatanya kurang, MGMP di suatu kabupaten/ kota/ kecamatan/ madrasah hanya tinggal nama. Mungkin hanya satu tahun satu kali ada kegiatan MGMP di kabupaten untuk lingkungan madrasah. Kegiatan itu baru terselenggara ketika ada proyek. Jika tidak ada, MGMP kembali fakum. Kadangkala MGMP kembali bergairah ketika ada suntikan dana dari pemerintah daerah melalui Diknas kabupaten. Itupun terjadi bila madrasah negeri, seperti MAN dan MTsN membuat proposal kegiatan MGMP satu tahun sebelumnya. Bila tidak mengajukan belum tentu mendapat kucuran dana.

Sebagai wadah prosesi keguruan yang bersifat non struktural, MGMP didirikan mempuyai tujuan dan fungsi. Arief Achmad 2004, memaparkan tujuan diselenggarakannya MGMP yaitu : Pertama, untuk memotivasi guru guna meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam merencanakan, melaksanakan, dan membuat evaluasi program pembelajaran; Kedua, untuk menyatakan kemampuan dan kemahiran guru dalam melaksanakan pembelajaran sehingga dapat menunjang usaha peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan; Ketiga, untuk mendiskusikan permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh guru dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan mencari solusi alternatif pemecahannya sesuai dengan karakteristik mata pelajaran masing-masing, guru, kondisi sekolah, dan lingkungannya; Keempat, untuk membantu guru memperoleh informasi teknis edukatif yang berkaitan dengan kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi, kegiatan kurikulum, metodologi, dan sistem pengujian yang sesuai dengan mata pelajaran yang bersangkutan; Kelima, saling berbagi informasi dan pengalaman dari hasil lokakarya, simposium, seminar, diklat, classroom action research, dan referensi; Keenam, mampu menjabarkan dan merumuskan agenda reformasi sekolah (school reform), khususnya focus classroom reform, sehingga berproses pada reorientasi pembelajaran yang efektif.

Sedangkan fungsi yang diemban MGMP, menurut Areif Achmad: Pertama, Menyusun program jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek serta mengatur jadwal dan tempat kegiatan secara rutin; Kedua, memotivasi para guru untuk mengikuti kegiatan MGMP secara rutin, baik di tingkat sekolah, wilayah, maupun kota; Ketiga, meningkatkan mutu kompetensi profesionalisme guru dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian/evaluasi pembelajaran di kelas, sehingga mampu mengupayakan peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan; Keempat, mengembangkan program layanan supervisi akademik klinis yang berkaitan dengan pembelajaran yang efektif; Kelima, mengembangkan silabus, sistem penilaian dan melakukan Analisis Materi Pelajaran (AMP), Program Tahunan (Prota), Program Semester (Prosem), Satuan Pelajaran (Satpel), dan Rencana Pembelajaran; Keenam, mengupayakan lokakarya, simposium dan sejenisnya atas dasar inovasi manajemen kelas, manajemen pembelajaran efektif (seperti : PAKEM-Pendekatan Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan-, joyful and quantum learning, hasil classroom action research, hasil studi komparasi atau berbagai studi informasi dari berbagai nara sumber, dan lain-lain.); Ketujuh, merumuskan model pembelajaran yang variatif dan alat-alat peraga praktik pembelajaran program Life Skill, baik Broad Based Education (BBE) maupun High Based Education (HBE).

Dilihat dari tujuan dan fungsinya, kehadiran MGMP mempercepat peningkatan mutu madrasah tidak bisa diragukan lagi. Namun dalam kenyataannya MGMP belum mampu mewujudkan tujuan dan fungsinya secara baik. Oleh karena itu, guru dimadrasah harus bangkit untuk melakukan perubahan. Bagaimana kegiatan MGMP tebih baik dan terprogram dengan profesional kedepan.

Kegiatan MGMP bisa berjalan sesuai dengan tujuan dan fungsinya, bila ada dukungan dari semua pihak. Baik dari unsur guru sendiri sebagai tenaga fungsional maupun dari lembaga-lembaga yang terkait. Seperti KKM dan Mapenda kantor Depag Kabupaten. KKM sebagai wadah pertumuan para kepala madrasah diharapkan bisa membina kegiatan MGMP. Dari hasil rapat pada tingkat ini kegiatan MGMP kedepan diharapkan lebih menggiatkan dunia pendidikan dilingkungan madrasah. Selain itu, pembinaan dari bagian Mapenda juga penting artinya untuk pemberdayaan MGMP. MGMP di madrasah perlu mendapat legitimasi dari bagian Mapenda kantor Depag Kabupaten. Bahkan bila memungkinkan Mapenda bisa membatu mencarikan atau menyediakan dana untuk kegiatan MGMP.

Mengingat pentingnya meningkatkan mutu madrasah, maka peningkatan profesionalisme guru melalui pemberdayaan MGMP suatu keniscayaan. Karena hingga kini, kita tidak bisa menutup mata bahwa mutu madrasah masih rendah. Melalui kegiatan MGMP guru diharapkan bisa meningkatkan kompetensi akademik dan sosial. Lewat forum MGMP guru lebih terampil merencanakan, melaksanakan, dan membuat evaluasi program pembelajaran. Melalui wadah ini pemeratan mutu guru bisa terwujud. Dan pada gilirannya, mutu madrasah semakin tinggi menjadi kenyataan.

sumber:
http://h4j4r.multiply.com/journal/item/6/Meningkatkan_Mutu_Madrasah_Melalui_Pemberdayaan_MGMP

Problem Peningkatan Mutu Madrasah

Sabtu, 13 Desember 2008 09:40
Masyarakat Indonesia tidak sedikit yang lebih mempercayai lembaga pendidikan madrasah daripada sekolah umum. Departemen Agama mencatat bahwa jumlah lembaga pendidikan madrasah tidak kurang dari 18 % dari seluruh lembaga pendidikan di Indonesia. Pada umumnya, (95%) madrasah berstatus swasta. Hanya sebagian kecil yang berstatus negeri. Lembaga pendidikan Islam ini diminati oleh masyarakat yang menghendaki para putra-putrinya memperoleh pendidikan agama yang cukup sekaligus pendidikan umum yang memadai.
Masyarakat peminat madrasah sadar bahwa ukuran keberhasilan pendidikan pada umumnya dilihat dari perolehan nilai Ujian Nasional (UN) atau tatkala telah lulus diterima oleh lembaga pendidikan jenjang berikutnya. Tetapi, pandangan seperti ini tidak selalu dipegangi. Sekalipun nilai UN yang diperoleh rendah yang berakibat sulit mendapatkan lembaga pendidikan berkualitas berikutnya, tidak selalu dirasakan sebagai problem berat sehingga mengurungkan anaknya masuk madrasah. Bagi mereka yang lebih penting adalah putra-putrinya memperoleh pendidikan agama secara cukup. Mereka meyakini betul, betapa pendidikan agama menjadi sangat penting dari pada lainnya.

Problem Kualitas

Sebagian banyak madrasah, jika dilihat dari hasil Nilai Ujian Nasional masih rendah, apalagi bila dibandingkan dengan sekolah umum pada umumnya. Kecuali beberapa madrasah yang ditangani secara khusus, ternyata juga berhasil unggul dan dapat meraih prestasi lebih tinggi bilamana dibandingkan dengan prestasi sekolah umum. Tetapi madrasah yang berhasil berprestasi seperti ini masih terbatas jumlahnya. Sebut saja misalnya, sebagai conoh Madrasah Terpadu Malang, yaitu Madrasah Ibtidaiyah Negeri, Madrasah Tsanawiyah Negeri dan Madrasah Aliyah Negeri Malang, prestasi akadmiknya setiap tahun selalu unggul dan dapat bersaing dengan lembaga pendidikan pada ummnya.

Membandingkan madrasah dengan sekolah umum, yang hanya dilihat dari hasil Ujian Nasional sesungguhnya tidaklah adil. Kedua jenis lembaga pendidikan ini sesungguhnya menyandang visi dan misi dan kondisi yang agak berbeda. Visi, misi dan kondisi yang berbeda tentu berimplikasi pada beban belajar dan perangkat pendukung yang berbeda pula. Tetapi anehnya, sebagian masyarakat menuntut hasil yang sama hanya dari sebagian prestasi yang dihasilkan, katakanlah hasil UN nya. Padahal keduanya sesungguhnya tidaklah sama. Sekolah umum, pada umumnya berstatus negeri. Dengan statusnya itu lembaga pendidikan pemerintah ini segala sesuatunya tercukupi sekalipun dalam batas-batas`minimal, misalnya guru, perpustakaan, laboratorium dan sarana pendidikan lainnya.
Berbeda dengan sekolah umum, madrasah yang pada umumnya berstatus swasta, yang dengan demikian selalu saja mengalami serba kekurangan, misalnya guru yang mengajar belum tentu memperoleh imbalan kesejahteraan yang cukup, buku-buku belum tentu tersedia dan apalagi sarana dan prasarana lainnya. Demikian pula, beban belajar siswa, jumlahnya jelas lebih banyak. Mata pelajaran agama sebagai ciri khas jumlahnya tidak sedikit, yang hal ini merupakan beban tersendiri bagi para siswa. Siswa madrasah kemudian mengikuti dua jenis ujian, yaitu ujian madrasah (mata pelajaran ciri khas), dan juga mengikuti ujian akhir nasional. Ironisnya yang dilihat tatkala melihat mutu madrasah hanya tertuju pada ujian akhir nasional, dan tidak memperhatikan prestasi lainnya, misalnya keberhasilannya dalam memperoleh prastasi kecerdasan spiritual mapun emosionalnya.
Semestinya, jika dua jenis lembaga pendidikan ini ingin diperbandingkan hasilnya maka seharusnya segala sesuatu yang mendukung dan bahkan muatan isi pendidikannya harus diberlakukan secara sama. Membandingkan hasil pendidikan dari dua jenis lembaga pendidikan yang tidak sama kondisi dan latar belakang kekuatannya akan menghasilkan kesimpulan yang tidak adil dan bahkan menyesatkan. Jika prestasi madrasah hanya dilihat dari hasil UN maka sesungguhnya tidak adil. Agar terjadi keadilan semestinya dilihat juga prestasi lainnya. Misalnya, tidak banyak terdengar anak madrasah, bahkan tidak pernah ada, yang terlibat kenakalan remaja secara serius dalam berbagai bentuknya. Bukankah ini sesungguhnya sebuah prestasi yang perlu diperhatikan secara memadai.

Nasib Lembaga Pendidikan Swasta

Kelahiran lembaga pendidikan swasta tidak selalu didorong oleh alasan karena tidak adanya lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan yang berstatus negeri. Sekalipun ada sekolah negeri, tetapi jika masyarakat memiliki aspirasi berbeda dengan lembaga pendidikan negeri yang sudah ada, maka apapun jadinya madrasah harus dibangun. Sementara masyarakat ada yang beranggapan bahwa lembaga pendidikan umum negeri dipandang belum memberikan pendidikan agama secara cukup. Bagi mereka yang memandang pendidikan agama lebih utama, maka mendorong masyarakat membangun lembaga pendidikan madrasah, sekalipun belum tentu madrasah baru itu tersedia tenaga pengajar maupun sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Akibatnya, pendidikan berjalan seadanya nya.
Pemerintah lewat Departemen Agama sesungguhnya telah memperhatikan soal-soal yang terkait dengan mutu hasil pendidikan, termasuk lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat, dengan memberlakukan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat diijinkan. Tetapi pada kenyataannya, segala persyaratan itu dihiraukan dan muncullah lembaga pendidikan dimaksud. Pada umumnya madrasah lahir melalui proses seperti ini, lahir dalam keadaan ang serba kurang berkecukupan jika dilihat dari kekuatan pendukungnya. Bagi pengelola madrasah, yang dianggap penting adalah identitas madrasah itu. Perkara isi pendidikan yang dilangsungkannya kurang memperoleh pertimbangan dan perhatian saksama. Kesadaran simbolik, berupa nama yang disandang ternyata bagi sementara masyarakat pendukung madrasah, masih mengalahkan tolok ukur yang dipatok oleh siapa saja termasuk pemerintah sekalipun.
Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan seperti ini tidak mudah. Masyarakat si empunya madrasah merasa memiliki otonomi seluas-luasnya. Tetapi sesungguhnya, jika pemerintah berketetapan hati meningkatkan kualitas lembaga pendidikan semacam ini, masih tersedia pintu masuk seluas-luasnya, asal intervensi pemerintah iitu tidak dirasakan mengganggu eksistensi dan aspirasi masyarakat pendirinya. Mereka dengan tangan terbuka bersedia menerima bantuan gedung, buku pelajaran dan bahkan tenaga pengajar sekalipun. Persoalannya adalah apakah ada ketulusan dan kesediaan mengikuti aspirasi masyarakat pecinta madrasah ini?

Belenggu Lingkaran Setan Madrasah Swasta

Pada umumnya satu-satunya penyangga financial kehidupan madrasah adalah wali murid sendiri. Sekalipun madrasah berada di bawah yayasan, tidak berarti bahwa semua yayasan tersebut mampu mencukupi seluruh kebutuhan madrasah. Pendanaan yang bersumber dari masyarakat, sesungguhnya tidak lebih dari sumbangan, baik yang dibayar awal masuk atau bulanan. Besarnya dana yang dipungut dari wali murid itu, umumnya juga tidak besar, apalagi madrasah yang berlokasi di daerah masyarakat miskin, amat kecil. Akibatnya, dana yang dapat dikumpulkan oleh madrasah juga kecil.
Kecilnya dana pendukung ini otomatis akan berpengaruh pada kecilnya kemungkinan madrasah memberikan insentif pada guru dan juga penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Padahal, lemahnya kedua factor pendidikan tersebut berakibat pendidikan dan pengajaran akan berjalan seadanya dan akibat selanjutnya kualitas pendidikan tidak akan dapat diharapkan. Kualitas hasil pendidikan yang rendah juga mengakibatkan motivasi dan partisipasi masyarakat juga rendah. Akhirnya, rendahnya motivasi dan partisipasi juga berakibat kecilnya dana madrasah yang dapat dihimpun. Hubungan sebab akibat yang mengitari dan bahkan melilit-lilit kehidupan madrasah inilah yang disebut dengan lingkaran setan madrasah swasta.
Persoalannya, jika negeri ini menginginkan lahirnya lembaga pendidikan yang berkualitas, merata dan demokratis perlu kiranya memotong lingkaran setan yang mengitari madrasah ini. Dari mana lingkaran setan itu dipotong dan diganti dengan lingkaran malaikat, maka jawabnya terserah pada kemauan kita dan juga pemerintah. Dengan menyediakan anggaran yang cukup, sehingga madrasah dapat menghidupi para guru-gurunya, melengkapi sarana dan prasarana pendidikannya, menyediakan buku-buku pelajarannya, tanpa mengganggu kemauan aspirasi mereka, insya Allah persoalan ini dapat terselesaikan.
Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional yang berhasil disahkan beberapa tahun lalu, kiranya memberikan peluang bagi pemerintah memberikan perhatian secukupnya terhadap seluruh lembaga penyelenggara pendidikan, termasuk pendidikan madrasah. Madrasah dengan segala kelemahan dan kekurangannya, pada hakekatnya ia dibangun atas dasar niat tulus dan jernih yaitu mengantarkan putra-putrinya selain agar cerdas dan trampil serta berwawasan luas, juga agar berkesempatan mengenali ajaran agamanya (Islam) secara cukup. Tokh, mungkin ada benarnya, sekalipun hasil pendidkan madrasah dari aspek intelektual tidak terlalu tinggi hasilnya, tetapi toh masih dikompensasi oleh kecerdasan spiritual, sosial dan emosional yang lebih unggul. Allahu a^lam.