Selasa, 30 Juni 2009

PROPOSAL

PEKAN OLAHRAGA DAN SENI I,

PAMERAN POTENSI DAN KREATIVITAS GURU MADRASAH

TINGKAT JAWA BARAT

TAHUN 2009

Kamis-Ahad, 6–9 Agustus 2009

A. Mukadimah

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional (UUSPN), madrasah memiliki kedudukan dan peran yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya (persekolahan). Namun demikian perhatian pemerintah terhadap keberadaan madrasah masih sangat kurang, bahkan menurut Yahya Umar, mantan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama, menyebutnya sebagai forgotten community. Pernyataan Yahya Umar tersebut bagi banyak orang mungkin mengejutkan, namun realitas membenarkannya.

Berdasarkan data yang dikeluarkan Center for Informatics Data and Islamic Studies (CIDIES) Departemen Agama dan data base EMIS (Education Management Syatem) Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama, jumlah madrasah (Madrasah Ibtidaiyah/MI (SD), Madrasah Tsanawiyah/MTs (SMP) dan madrasah Aliyah/MA (SMA)) sebanyak 36.105 madrasah (tidak termasuk madrasah diniyah dan pesantren).

Dari jumlah itu 90,08 % berstatus swasta dan hanya 9,92 % yang berstatus negeri. Kondisi status kelembagaan madrasah ini dapat digunakan untuk membaca kualitas madrasah secara keseluruhan, seperti keadaan guru, siswa, fisik dan fasilitas, dan sarana pendukung lainnya, karena keberadaan lembaga-lembaga pendidikan dasar dan menengah di tanah air pada umumnya sangat tergantung kepada pemerintah.

Atas dasar itu, tidak terlalu salah kalau dikatakan bahwa madrasah-madrasah swasta yang berjumlah 32.523 buah mengalami masalah yang paling mendasar yaitu berjuang keras untuk mempertahankan hidup, bahkan sering disebut lâ yamûtu walâ yahya (tidak hidup dan perlu banyak biaya (agar tidak mati)). Namun demikian, madrasah bagi masyarakat Indonesia tetap memiliki daya tarik. Hal ini dibuktikan dari adanya peningkatan jumlah siswa madrasah dari tahun ke tahun rata-rata sebesar 4,3 %, sehingga berdasarkan data CIDIES, pada tahun 2005/2006 diperkirakan jumlah siswanya mencapai 5, 5 juta orang dari sekitar 57 juta jumlah penduduk usia sekolah di Indonesia.

Persoalannya adalah, bagaimana mempercepat peningkatkan mutu 36.105 madrasah dan 5,5 juta siswanya? Peningkatan mutu pendidikan secara merata adalah persoalan mutlak bagi eksistensi sebuah bangsa dengan tanpa membedakan identitas kultural masyarakatnya. Menempatkan madrasah sebagai lembaga pendidikan kelas dua atau menomorduakan peningkatan mutu bagi madrasah setelah lembaga persekolahan tidak dapat dibenarkan dalam perspektif apapun, bahkan kalau hal itu terjadi marupakan wujud pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan menjadi bumerang bagi bangsa dan Negara. Ketertinggalan suatu kelompok masyarakat dari sebuah bangsa pada umumnya terbukti menjadi batu sandungan dan sumber masalah bagi perjalanan bangsa itu sendiri. Fenomena terorisme dan separatisme misalnya, bukan semata dikarenakan persoalan ideologis, melainkan lebih karena ketertinggalan dalam berbagai aspek dan merasa terlupakan/terpinggirkan. Atas dasar itulah kita perlu mencontoh Negara seperti Singapura yang berupaya keras meningkatakan mutu madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Melayu agar sejajar dengan lembaga pendidikan pada umumnya.

.Wajah pendidikan nasional setelah negeri ini 63 tahun merdeka masih berlepotan. Harapan muncul seiring komitmen pemerintah mengucurkan Rp 22 triliun lebih untuk memerdekakan pendidikan Indonesia dan ketertinggalan. Pengkatrolan anggaran pendidikan nasional itu dicetuskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan, Jumat (15/8/2008). Anggaran Rp 22 triliun lebih itu masuk dalam RAPBN 2009. Tentu, para praktisi pendidikan dan masyarakat patut menyambutnya dengan sikap positif. Persoalan tinggal bagaimana komitmen itu diimplementasikan kelak. Sebagai catatan, kebijakan pemerintah kerap kali bagus, tapi payah dalam pelaksanaannya.

Program dan biaya pendidikan di Indonesia terus jadi masalah. Jadi sebuah lingkaran kendala yang tak kunjung teratasi dan menyebabkan kualitas pendidikan negeri mi jauh tertinggal dan negara lain. Ketertinggalan itu tercermin pada indeks pembangunan sumber daya manusia (human development index) di kawasan Asia Tenggara. Indonesia berada di bawah Filipina dan Malaysia.

Apa sebenarnya yang salah dalam dunia pendidikan negeri ini?

Yang paling utama, tentu, diawali dengan kualitas guru yang umumnya masih rendah. Rendahnya kualitas guru sangat mungkin disebabkan rendahnya tingkat kesejahteraan, pendidikan, kemampuan guru. Dan, lingkaran setan pun dimulai. Karena gaji guru rendah, generasi muda yang tertarik jadi guru umumnya bukan calon-calon terbaik. Calon-calon terbaik akan meniti ke sekolah lanjutan tingkat atas favorit atau berkuliah di jurusan favorit seperti kedokteran, teknik, hubungan internasional, ekonomi, dan lainnya. Yang kedua berkaitan dengan kepedulian bangsa ini kepada dunia pendidikan. Tak perlu gusar dan mencari pembenaran. Cukup dua contoh untuk membuktikan betapa bangsa in terutama lembaga eksekutif dan legislatif, selama mi kurang mempedulikan pendidikan.

Pertama, Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas meniscayakan kebutuhan akan sedikitnya 38 peraturan pemerintah untuk berjalan baik. Kedua, telah lama DPR mematok keharusan pemerintah memberikan 20% APBN untuk sektor pendidikan. Faktanya belum seperti itu. Baru tahun depan hal itu direncanakan berjalan.

Dengan minimnya kepedulian itu, jangan heran jika dan waktu ke waktu kualitas pendidikan Indonesia makin tertinggal. Malaysia yang sempat mengimpor ribuan guru dan Indonesia di era 1970-an, kini melesat meninggakan negeri ini. Dalam kenyataannya, melahirkan tenaga pendidik dan kependidikan yang professional dan memiliki kompetensi yang handal tidaklah mudah. Diperlukan kerja sama berbagai pihak yang secara sinergis melakukan upaya proaktif dalam menghadapi hal tersebut. Keterpaduan berbagai pihak tersebut diharapkan akan menumbuhkan suatu sinergi dan akselerasi (percepatan) yang dinamis, efektif dan efisien dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Menjadi guru, apalagi di Madrasah, merupakan pilihan yang mulia. Relevansi pencapaian tujuan dunia dan akhirat, ada pada pundak guru madrasah. Namun, perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah belum begitu maksimal dalam rangka meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru madrasah.

Madrasah memang "komunitas yang terlupakan" bahkan dapat juga ditegaskan sebagai "komunitas yang terpinggirkan". Walaupun demikian, dengan segala keterbatasan penghargaan terhadap mereka, mereka tetap mewakafkan waktunya bagi kecerdasan bangsa. Untuk dapat memenuhi kebutuhan ekonominya, sebagian guru-guru madrasah berprofesi ganda sebagai tukang ojek, pedagang keliling, dan sebagainya. Lalu, dengan tetap berprasangka baik bahwa seluruh diskrimansi pemerintah disebabkan minimnya informasi, guru-guru madrasah di Jawa Barat bersepakat untuk mendirikan persatuan guru madrasah (PGM).

PGM adalah organisasi profesi bagi guru-guru madrasah yang ada di Indonesia dengan mengacu dan berlandaskan pada UU No. 20/2003, UU No. 14/2005, dan PP No. 55/2007. PGM didirikan untuk memperjuangkan 250.000 guru madrasah di Jawa Barat yang patut dan pantas untuk mendapat perlakuan dan pengakuan yang sama dari berbagai pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, pusat maupun daerah.

PGM Jawa Barat sebenarnya merupakan kelanjutan dari beberapa perjuangan guru madrasah di daerah. Semenjak tahun 2002, misalnya, beberapa guru madarasah di Kab. Sukabumi, Bekasi, Bogor, Bandung, dan Bekasi telah mendirikan PGM --atau dengan nama yang lain-- dan memperjuangkan nasib guru madrasah. Perjuangan PGM di beberapa kota dan kabupaten kini telah menunjukkan hasil yang signifikan. Di Kota Bekasi, misalnya, kini guru madrasahnya mendapatkan tunjangan kesra dari APBD-nya. Kota Bandung, Kab. Bogor, dan Depok mendapatkan alokasi dana komite dari pemdanya.

Atas dasar pengalaman ini, guru-guru madrasah berkesimpulan bahwa kebijakan pemerintah daerah yang tidak seimbang disebabkan oleh ketidakadaan informasi yang berimbang mengenai madrasah. Lalu pada tanggal 27 Desember 2008, 11.000 guru madrasah (guru mengaji, RA, MI, MTs. MA, dan dosen agama) dari seluruh Jawa Barat berkumpul di Gasibu mendeklarasikan PGM Jawa Barat. Semua guru madrasah menegaskan keberadaannya bahwa mereka harus terus meningkatkan profesionalismenya agar mampu bersaing dan bersanding dengan guru sekolah pada umumnya. Kemudian, mendorong pemerintah agar memperlakukan guru madrasah sama dengan memperlakukan guru pada umumnya. Lalu, meningkatkan martabat dan kesejahteraan guru madrasah dan menggali dan meningkatkan potensi dan kualitas guru madrasah sehingga mampu beraktualisasi, berinovasi, dan berkreasi.

Dengan visi "Terwujudnya Guru Madrasah yang Berkualitas, Sejahtera, dan Bermartabat" PGM Jawa Barat menjadi mitra pemerintah Jawa Barat untuk mencapai peningkatan IPM yang dicita-citakan.

Bila kita merujuk pada filosofi demokrasi bahwa inspirasi masyarakat menjadi dasar dari kebijakan, maka keberadaan madrasah (dengan tingkat partisipasi 90%) dapat menjadi landasan bagi seluruh program pembangunan. Di masa depan, dengan demikian, pemerintah daerah dapat menjadikan madrasah sebagai ujung tombak peningkatan daya baca, daya beli, dan daya sehat.

Jawa Barat merupakan provinsi yang berdampingan dengan Ibukota Negara. Banyak harapan yang muncul agar Jawa Barat menjadi provinsi termaju mendampingi Jakarta. Berbagai usaha telah dilakukan. Dengan visinya “Terwujudnya masyarakat Jawa Barat mandiri, dinamis, dan sejahtera”, Jawa Barat terus berbenah ke arah kemajuan.

Dewan Pengurus Wilayah Persatuan Guru Madrasah (DPW-PGM) Provinsi Jawa Barat sebagai wadah yang menampurig aspirasi guru madrasah merasa berkewajiban menjalankan peranannya sebagai wahana yang memiliki perangkat. Hal ini diwujudkan dengan aktivitas dan partisipasi aktif dengan merealisasikan berbagai program kegiatan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di Jawa Barat.

Dilandasi oleh keyakinan dan kemurnian hati bahwa tekad dan komitmen tersebut dapat terlaksana dengan usaha-usaha yang teratur, terencana dan penuh kebijaksanaan dalam rangka meningkatkan potensi guru madrasah, maka bermaksud melaksanakan kegiatan Pekan Olah raga dan Seni (Porseni) I dan Pameran Potensi dan Kreativitas Guru Madrasah Tingkat Jawa Barat Tahun 2009.

B. Tujuan dan Manfaat

1. Wahana Silaturahmi antarguru Madrasah tingkat Jawa Barat

2. Wahana pengembangan memampuan, potensi dan kreativitas guru madrasah dalam rangka pencapaian visi Jawa Barat.

3. Menjalin rasa persaudaraan dalam komitmen Organisasi PGM Jawa Barat

4. Menggali segala potensi yang dimiliki oleh Guru Madrasah di Jawa Barat dalam bidang olah raga dan seni

5. Media sosialisasi Program Persatuan Guru Madrasah

C. Nama dan Tema Kegiatan

Nama

:

Pekan Olah raga dan Seni (Porseni) I dan Pameran Potensi dan Kreativitas Guru Madrasah PGM Tingkat Jawa Barat Tahun 2009

Tema

:

Jalin Silaturahmi, Kembangkan Potensi Diri, Raih Prestasi dalam rangka Terwujudnya Masyarakat Jawa Barat mandiri, Dinamis dan Sejahtera.

D. Pelaksana Kegiatan

Kegiatan ini dilaksanakan oleh Pengurus DPW PGM Provinsi Jawa Barat dengan panita lokal dari Pengurus DPD PGM Kabupaten Sukabumi.

E. Waktu dan tempat Kegiatan

Tanggal : Kamis s.d Ahad, 6 – 9 Agustus 2009

Tempat : Kabupaten Sukabumi.

F. Peserta

Peserta adalah perwakilan guru madrasah yang berasal dari seluruh DPD PGM Kota dan Kabupaten di Jawa Barat (25 Kab. / Kota).

G. Mata lomba dan Kegiatan

1. Bola Volly

a. Putra

b. Putri

2. Bulu Tangkis

a. Double Putra

b. Double Putri

3. Tenis Meja

a. Single 2

b. Double 1

4. Catur

a. 3 orang (putra-putri)

5. Karoke Nasyid

a. Putra/putri ( 1 orang)

6. Kaligrafi

a. Putra/putri ( 1 orang)

7. Gerak Jalan per Kontingen

8. Pameran Potensi dan Kreativitas Guru Madrasah

H. Susunan Panitia

Susunan Panitia kegiatan Porseni I dan Pameran Potensi dan Kreativitas Guru Madrasah (PGM) Tingkat Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 terlampir.

I. Technical Meeting

Agenda Technical Meeting seluruh Official dari tiap-tiap DPD PGM se-Jawa Barat adalah sebagai berikut:

Hari, tanggal : Selasa, 28 Juli 2009

Waktu : Pukul 10.00 s.d selesai

Tempat : Gedung Islamic Center Cisaat

Jl. Alun-alun Mesjid Agung Kec. Cisaat Kab. Sukabumi

Acara : Pembahasan aturan dan teknis pertandingan

Cabang olah raga dan seni

Persayaratan : - membawa daftar nama peserta tiap Cabor dan seni

- Membawa Foto copy KTP

- Kartu PGM atau Surat Keterangan mengajar di Madrasah

- Membawa Foto Berwarna ukuran 3x4 3 buah (untuk tiap Peserta)

J. Ketentuan Peserta dan Pertandingan

Adapun ketentuan mengenai peserta dan pertandingan dalam kegiatan porseni PGM Tingkat Jawa Barat ini, terdapat dalam lampiran.

Sukabumi, 16 Juni 2009

Panitia Pelaksana,

Lalan Suherlan, S.Pd Mulyawan SN, M.Ag., M.Pd.

Ketua Sekretaris

Mengetahui,

Pengurus DPW PGM

Provinsi Jawa Barat

Drs. H. Ubaydillah Khoir, M.Pd.I

Ketua Umum

Jumat, 12 Juni 2009

Mutu Pendidikan Kendala Utama Madrasah

Jakarta,18/3 (www.depag.go.id)--Direktur Pendidikan Madrasah Departemen Agama Drs H Firdaus MPd menyatakan, permasalahan yang selama ini dihadapi oleh madrasah adalah persoalan mutu pendidikan. Pasalnya, masyarakat selama memberikan image bahwa madrasah dianggap sebagai lembaga pendidikan kelas dua dibanding dengan pendidikan di sekolah umum.

Hal itu dikatakan Firdaus saat membuka Training Leadership Bagi Pengelola Madrasah yang diselenggarakan atas kejasama Depag dengan Lembaga Pendidikan Ma`arif NU di wisma Syahida, UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang, Banten, Selasa (17/3) malam kemarin. Acara itu sendiri dihadiri oleh seluruh pengelola madarasah perwakilan dari seluruh propinsi di Indonesia.

Firdaus menuturkan, sebagian besar pengelolaan madrasah itu dilakukan oleh pihak swasta dan seringkali tidak memperhatikan dan mengutamakan asas-asas manajemen dan kualitas karena mereka lebih mengutamakan pendekatan sosial.

"Dulu para pendiri madrasah itu berniat, daripada anak-anak tidak sekolah lebih baik dibuatkan lembaga pendidikan sehingga mereka bisa sekolah. Daripada tidak ada gurunya, ya kita siapkan siapa saja yang mau mengajar," ungkapnya.

Selain itu, image madrasah sebagai pendidikan nomor dua juga tidak bisa dilepaskan dari kesalahan yang dilakukan oleh pengelola madrasah yang sudah meletakkan madrasah sedemikian rendah. Firdaus mencontohkan, ketika ada proses akreditasi pihak pengelola memohon tim akreditasi agar tidak memperlakukan madrasah sama dengan sekolah umum.

"Kita memohon agar normanya diturunkan sedikit. Akibatnya ketika ada madrasah mendapat akreditasi A, orang menilai A madrasah kualitasnya jelek dibandingkan A sekolah," katanya.

Dengan visi dan paradigma yang sangat sederhana itu, kata Firdaus, tentu saja hasil out put dari pendidikan madrasah sesuai dengan paradigma itu. "Dulu mungkin bisa diterima, karena pada saat itu madarasah belum mendapatkan perlakuan yang sama dengan sekolah. Tapi sekarang, kita harus berusaha untuk berasaing dengan mereka," katanya.

Firdaus mengungkapkan, sebelum Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 tahun 2003, madarasah belum mendapatkan pelayanan yang sama dengan sekolah. Karena anggaran yang disiapkan pun masih menggunakan alokasi dana dari sektor agama.

"Dananya kecil dan itu digunakan untuk segala macam progam, mulai haji, urusan agama, dan lain sebagainya. Sisanya baru digunakan untuk pendidikan. Sudah sedikit dibagi rata pula dengan jumlah madarasah yang begitu banyak," tuturnya.

Karena itu, ketika UU Sisdiknas diberlakukan tahun 2003, Firdaus meminta kepada semua masyarakat, terutama para pengelola madarasah untuk secepatnya mengejar ketertinggalan dengan sekolah.

"Kita yang menyelenggarakan madarasah yang bisa mengubah image itu. Harus bersama-sama membangun madarasah dan tidak boleh lagi punya paradigma seperti itu. Karena perlakuan pemerintah itu sudah sama, unit cost tidak ada bedanya dengan sekolah," tukasnya.

Selain itu, imbuh Firdaus, kelemahan lain yang dihadapi madrasah adalah persoalan kualitas guru. Karena kualitas guru merupakan faktor dominan dalam mempengaruhi kualitas lulusan.

"Hasil penelitan menunjukkan bahwa kualitas lulusan dari madrasah itu 63 persen dipengaruhi oleh kualitas guru, bukan managemen, fasilitas, tapi kualitas gurunya," tukasnya

Firdaus menuturkan, di madrasah itu sebesar 54 persen dari 628 ribu guru masih belum memenuhi kualifikasi minimal guru, yakni pendidikan S1 atau D4 dan sesuai dengan kualifikasi bidang yang dipelajarinya.

"Ini merupakan amanat UU Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005. Jadi harapannya bisa linear antara basis pendidikan dengan mata pelajaran yang diajarkannya," tandasnya. (kml/ts)

Selasa, 09 Juni 2009

19 SMA Tidak lulus 100%

19 SMA Semua Siswanya Tidak Lulus Unas Tahun Ini

Monday, 1 June 2009 (04:35) | 97 views | 3 komentar

(Diduga Dapat Bocoran Jawaban yang Salah)

JAKARTA - Peristiwa memalukan kembali terjadi di dunia pendidikan. Tahun ini terdapat 19 SMA di Indonesia yang 100 persen siswanya tidak lulus ujian nasional (unas). Diduga, itu disebabkan kunci jawaban palsu yang diedarkan sekolah kepada siswa.

Kasus tersebut terkuak di SMA Negeri 2 Ngawi, yang merupakan sekolah favorit di kota kecil di ujung barat Jawa Timur. Dirjen Dikdasmen Depdiknas Suyanto juga alumnus sekolah itu. Kemarin sekolah tersebut mengundang seluruh wali murid kelas tiga. Kepala Dinas Pendidikan Ngawi Abimanyu dan Bupati Ngawi Harsono juga dihadirkan dalam pertemuan sekolah dengan wali murid tersebut.

Dalam pertemuan tertutup itulah, menurut sumber, terkuak bahwa hasil scan lembar jawaban komputer (LJK) unas menunjukkan seluruh siswa kelas tiga SMAN 2 Ngawi (315 anak) dinyatakan tidak lulus. Para wali murid ditenangkan dan dijanjikan ujian nasional ulang pada 8-12 Juni 2009.

Dalam pertemuan itu juga diungkapkan penyebab ketidaklulusan tersebut. Yakni, semua siswa menggunakan bocoran kunci jawaban untuk mengerjakan soal unas. Tentu saja tujuannya mengatrol nilai para siswa dan menjamin kelulusan 100 persen. Ternyata kunci yang beredar itu salah. Dan, hasilnya justru 100 persen siswa tidak lulus.

Para wali murid gempar. Sebab, sebagian siswa SMAN 2 telah diterima di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) favorit melalui jalur PMDK (penelusuran minat dan kemampuan). Dengan adanya kasus tersebut, tentunya membatalkan hasil tes PMDK.

Sempat tersiar kabar bahwa kunci jawaban palsu itu dari Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) untuk menyukseskan penyelenggaraan unas. Apalagi, pengumuman unas yang rencananya dilakukan minggu ketiga Juni 2009 bersamaan dengan jadwal kampanye pilpres. Karena itu, kalau unas tidak diselamatkan, stabilitas politik bisa terganggu.

Dikonfirmasi terkait kasus yang terjadi di SMAN 2 Ngawi, Ketua BSNP sebagai penyelenggara Unas Prof Mungin Eddy Wibowo membantah bahwa pihaknya terlibat dalam pemberian kunci jawaban palsu. ”Itu sama sekali tidak benar. Kalaupun kami mengedarkan, mengapa harus kunci jawaban palsu? Saya tidak tahu dari mana hal itu bisa mencuat,” katanya.

Kendati demikian, Mungin membenarkan adanya kasus di SMAN 2 Ngawi. Lantaran memercayai kunci jawaban palsu yang beredar, semua siswa tidak lulus unas. ”Setelah kami cocokkan dengan kunci jawaban asli, jawabannya salah semua. Akibatnya, mereka tidak lulus,” terangnya. Sebab, jawaban yang salah itu untuk semua mata pelajaran yang diujikan.

Sebagaimana diketahui, ada empat mata pelajaran yang diujikan dalam unas SMA. Yaitu, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika.

Mungin menjelaskan, jawaban soal siswa SMAN 2 Ngawi semua sama. ”Tapi, jawaban yang sama itu salah,” ujarnya. Temuan di lapangan itu, kata Mungin, disampaikan oleh Tim Pemantau Independen (TPI), Inspektorat Jenderal (Itjen), dan masyarakat.

Setelah melalui pertemuan antara BSNP, Irjen, dan TPI, akhirnya diputuskan untuk mengulang unas. ”Kalau tidak, kasihan siswa. Mereka malah tidak lulus semua. Dengan pertimbangan itu, akhirnya kami adakan ujian ulang,” jelasnya.

Ujian ulang itu, kata Mungin, dianggap tak menyalahi aturan. Sebab, pada ujian pertama telah terjadi kecurangan sehingga ujian tersebut dibatalkan. ”Jadi, ini bukan ujian susulan, tapi ulangan. Sebab, kami telah membatalkan ujian pertama. Kalau ujian tidak diulang, mereka tak lulus semua,” ucapnya. Untuk itu, pihaknya telah memanggil kepala dinas pendidikan setempat terkait kasus tersebut.

Mungin mengatakan, pihaknya telah mewanti-wanti agar siswa tidak memercayai kunci jawaban palsu yang beredar. ”Kami sudah mengingatkan sejak awal. Ini merupakan tanggung jawab sekolah untuk mengontrol yang terjadi di lapangan,” ujarnya.

Di bagian lain, Koordinator TPI dan Pengawas Unas Tingkat Nasional Haris Supratna membeberkan bahwa kecurangan itu tidak hanya terjadi di SMAN 2 Ngawi, tapi juga di 18 SMA lain yang tersebar di berbagai daerah. Yaitu, Palembang, Bengkulu, NTB, Gorontalo, Jabar, dan Jatim.

Kecurangan itu terungkap berawal dari ditemukannya pola jawaban yang sama pada lembar jawaban ujian nasional (LJUN) siswa oleh TPI. Kecurigaan itu semakin kuat karena pola jawaban tersebut tidak hanya ditemukan pada satu mata pelajaran, namun juga pelajaran yang lain. ”Kalau di SMAN 2 Ngawi, kami menemukan itu pada semua mata pelajaran. Contohnya, jawaban siswa A semua, sampai soal kesepuluh. Padahal, penyusun naskah soal tidak mungkin menyusun kunci jawaban A semua sampai sepuluh soal,” tuturnya.

TPI melanjutkan penelusuran dengan mencocokkan apakah pola jawaban yang sama itu ditemukan di kelas lain atau tidak. Ternyata, kata Haris, di semua kelas SMAN 2 Ngawi juga menjawab soal dengan pola jawaban sama. ”Jadi, jawaban satu sekolah itu sama. Nggak mungkin rasanya kalau semua itu tidak dilakukan secara sistematis,” ungkapnya.

Dari temuan itu, akhirnya TPI bersama BSNP mencocokkan dengan kunci jawaban asli. Hasilnya, semua jawaban siswa SMAN 2 Ngawi salah. Fenomena serupa terjadi di 18 sekolah yang lain. ”Ada yang jurusan IPA saja, atau IPS saja. Ada juga yang dua-duanya,” terang rektor Unesa (Universitas Negeri Surabaya) itu.

Lantaran merupakan kecurangan, ujian tersebut harus diulang. Pengambilan kebijakan itu merupakan bentuk sanksi yang diberikan kepada sekolah. ”Itu namanya sanksi moral. Sebab, mereka harus mengulang ujian. Kami berharap kasus ini tidak terulang,” ungkapnya.

Haris menegaskan, adanya kasus tersebut tidak berarti telah terjadi kebocoran kunci jawaban unas. ”Karena kan ternyata jawabannya tidak cocok,” ujarnya. Kendati telah ditemukan kecurangan, baik BSNP maupun TPI tidak berani menyebut pihak yang paling bertanggung jawab. Sanksi tegas terhadap sekolah maupun siswa yang melakukan kecurangan juga belum diberlakukan. Tak urung, kecurangan dalam unas dari tahun ke tahun masih terjadi. Padahal, tahun ini pemerintah telah menggandeng PTN untuk mengawasi pelaksanaan unas. (kit/tom/kum) ***

———–
Sumber: Jawa Pos (Minggu, 31 Mei 2009)