Sabtu, 26 September 2009

Kompetensi Kepribadian Guru

I. PRIBADI GURU.

Adalah sangat penting seorang guru memiliki sikap yang dapat mempribadi sehingga dapat dibedakan ia dengan guru yang lain. Memang, kepribadian menurut Zakiah Darajat disebut sebagai sesuatu yang abstrak, sukar dilihat secara nyata, hanya dapat diketahui lewat penampilan, tindakan, dan atau ucapan ketika menghadapi suatu persoalan, atau melalui atasannya saja.

Kepribadian mencakup semua unsur, baik fisik maupun psikis. Sehingga dapat diketahui bahwa setiap tindakan dan tingkah laku seseorang merupakan cerminan dari kepribadian seseorang, selama hal tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran. Setiap perkataan, tindakan, dan tingkah laku positif akan meningkatkan citra diri dan kepribadian seseorang. Begitu naik kepribadian seseorang maka akan naik pula wibawa orang tersebut.

Kepribadian akan turut menetukan apakah para guru dapat disebut sebagai pendidik yang baik atau sebaliknya, justru menjadi perusak anak didiknya. Sikap dan citra negative seorang guru dan berbagai penyebabnya seharusnya dihindari jauh-jauh agar tidak mencemarkan nama baik guru. Kini, nama baik guru sedang berada pada posisi yang tidak menguntungkan, terperosok jatuh. Para guru harus mencari jalan keluar atau solusi bagaimana cara meningkatnya kembali sehingga guru menjadi semakin wibawa, dan terasa sangat dibutuhkan anak didik dan masyarakat luas. Jangan sebaliknya.

Guru sebagai teladan bagi murid-muridnya harus memiliki sikap dan kepribadian utuh yang dapat dijadikan tokoh panutan idola dalam seluruh segi kehidupannya. Karenanya guru harus selalu berusaha memilih dan melakukan perbuatan yang positif agar dapat mengangkat citra baik dan kewibawaannya, terutama di depan murid-muridnya. Disamping itu guru juga harus mengimplementasikan nilai-nilai tinggi terutama yang diambilkan dari ajaran agama, misalnya jujur dalam perbuatan dan perkataan, tidak munafik. Sekali saja guru didapati berbohong, apalagi langsung kepada muridnya, niscaya hal tersebut akan menghancurkan nama baik dan kewibawaan sang guru, yang pada gilirannya akan berakibat fatal dalam melanjutkan tugas proses belajar mengajar.

Guru yang demikian niscaya akan selalu memberikan pengarahan kepada anak didiknya untuk berjiwa baik juga. Hampir sulit ditemukan munculnya guru yang memiliki keinginan buruk terhadap muridnya. Dalam menggerakkan murid, guru juga dianggap sebagai partner yang siap melayani, membimbing dan mengarahkan murid, bukan sebaliknya justru menjerumuskannya. Djamarah dalam bukunya “ Guru dan Anak didik Dalam Interaksi Edukatif” menggambarkan bahwa : Guru adalah pahlawan tanpa pamrih, pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan ilmu, pahlawan kebaikan, pahlawan pendidikan, makhluk serba biasa, atau dengan julukan yang lain seperti artis, kawan, warga Negara yang baik, pembangun manusia, pioneer, terpercaya, dan sebagainya”.

Lebih lanjut Djamarah mengisahkan bahwa guru memiliki atribut yang lengkap dengan kebaikan, ia adalah uswatun hasanah walau tidak sesempurna Rasul. Betapa hebat profesi guru, dan tidak dapat ditemukan dalam berbagai profesi lainnya. Karenanya berbagai bentuk pengabdian ini hendaknya dilanjutkan dengan penuh keikhlasan, dengan motivasi kerja untuk membina jiwa dan watak anak didik, bukan sekedar untuk mencari uang.

Guru yang professional adalah guru yang siap untuk memberikan bimbingan nurani dan akhlak yang tinggi kepada muridnya. Karena pendidikan dana bimbingan yang diberikan bersumber dari ketulusan hati, maka guru benar-benar siap sebagai spiritual fatner bagi muridnya. Guru yang ideal sangat meresa gembira bersama dengan muridnya, ia selalu berinteraksi kepada muridnya, ia merasa happy dapat memberikan obat bagi muridnya yang sedang bersedih hati, murung, berkelahi, malas belajar. Guru professional akan selalu memikirkan bagaimana memacu perkembangan pribadi anak didiknya agar tidak mengalami kendala yang biasa mengganggu.

Kemuliaan hati seorang guru diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Guru secara nyata dapat berbagi dengan anak didiknya. Guru tidak akan merasa lelah dan tidak mungkin mengembangkan sifat iri hati, munafik, suka menggunjing, menyuap, malas, marah-marah dan berlaku kasar terhadap orang lain, apalagi terhadap anak didiknya.

Guru sebagai pendidik dan murid sebagai anak didik dapat saja dipisahkan kedudukannya, akan tetapi mereka tidak dapat dipisahkan dalam mengembangkan diri murid dalam mencapai cita-citanya. Disinilah kemanfaatan guru bagi orang lain atau murid benar-benar dituntut, seperti hadits Nabi :”Khoirunnaasi anfa’uhum linnaas,” artinya adalah sebaik-baiknya manusia adalah yang paling besar memberikan manfaat bagi orang lain. ( Al Hadits ).

II. STEREOTYPE GURU

Stereotype guru adalah hal-hal klise yang sering dilakukan oleh para guru. Yang berkembang dimasyarakat kita adalah adanya suatu anggapan bahwa yang stereotype selalu dianggap benar, sedangkan yang diluar stereotype dianggap salah, sakit, gila dan sebagainya. Banyak orang yang tidak setuju dengan stereotype, mengorbankan dirinya dengan pura-pura mengikuti stereotype supaya ia tidak dianggap menyimpang, aneh ataupun gila. Sebagai contoh stereotype yang dilakukan oleh guru TK. Sang guru berteriak kepada anak didiknya.

“Ayo anak-anak mari kita menggambar pemandangan.” Alkisah, begitulah seorang ibu guru TK atau SD sedang menyuruh anak didiknya untuk memulai menggambar sebuah pemandangan beberapa puluh tahun yang lalu. Sang ibu guru tadi pun memulai memberi contoh menggambar pemandangan. Ada dua buah gunung dengan bentuk segitiga lancip, kemudian ditengahnya terdapat matahari pagi yang mengintip diantara dua gunung tersebut, di atasnya ada awan-awan yang menggantung di angkasa, dan ada pula sekawanan burung yang terbang di angkasa berbentuk seperti angka 3 tidur. Ada juga jalan raya yang mungkin juga lengkap dengan tiang listriknya. Sawah berjajar berkotak-kotak di tepi jalan dengan tanaman padi yang berbentuk seperti huruf V berderet-deret, serta rumah mungil beserta pepohonan pun menghiasi coretan gambar pemandangan tersebut. Tak jarang terdapat aliran sungai yang berkelok-kelok. Sang murid pun dengan serta merta mengikuti pola gambaran pemandangan yang dibuat oleh sang ibu guru tersebut. Dan ajaibnya pola gambar pemandangan seperti ini awet dan senantiasa terjaga kelestariannya hingga saat ini.

Stereotype pemandangan seperti itu yang selalu tertancap erat di ingatan anak-anak Indonesia ketika hendak disuruh mengambar pemandangan.

Pemandangan ya gambar dua buah gunung, ada matahari, jalan, sawah, rumah, awan, burung. Gambar dua gunung ya seperti itulah yang dinamakan dengan pemandangan.

Dalam metodologi pembelajaran, guru seringkali menggunakan metode ceramah untuk menyampaikan materinya karena muncul anggapan bahwa mengajar selalu identik dengan pemberian ceramah, sehingga metode-metode pembelajaran diluar metode ceramah dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan sulit dilakukan.

Sebenarnya stereotype itu tidak sepenuhnya salah karena ada beberapa mata pelajaran yang memang akan berjalan efektif apabila disampaikan dengan cara ceramah, seperti pelajaran sejarah, PKn dan sebagainya, namun menganggap bahwa semua mata pelajaran biasa disampaikan kepada anak didik dengan metode ceramah adalah pembodohan terhadap anak didik itu sendiri. Sekarang ini, seorang guru harus berani meninggalkan stereotype dan berani menggunakan metode-metode modern yang sesuai dengan kebutuhan anak didiknya, agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan maksimal.

III. PROFESI GURU SEBAGAI PILIHAN

Sebelum kita menetapkan apakah mengajar merupakan tugas guru yang termasuk profesi atau tidak atau bahkan sekedar tergolong pekerjaan biasa, kiranya perlu kita ketahui persyaratan yang dibutuhkan dalam sebuah aktivitas termasuk profesi. Belakangan telah sedemikian meluas istilah profesi atau professional dikenal dalam masyarakat. Namun sering kali pemahamannya kurang tepat.

Kini sangat banyak yang menganggap bahwa setiap orang dapat mengerjakan suatu pekerjaan dengan baik, rapi, dan dapat memuaskan orang lain disebut telah melakukan pekerjaan secara professional. Sehingga dengan mudah masyarakat memberikan gelar professional hampir kepada siapa saja, asal dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Tak jarang kita dengar sebutan koruptor professional, pembantu professional, tukang batu professional, sopir professional dan seterusnya. Benarkah sebutan-sebutan tersebut.

Qomari Anwar mendefinisikan profesi adalah sebuah sebutan yang didapat seseorang setelah mengikuti pendidikan, pelatihan ketrampilan dalam waktu yang cukup lama, sehingga dia punya kewenangan memberikan suatu keputusan mandiri berdasarkan kode etik tertentu, yang harus dipertanggungjawabkan sampai kapanpun. Melakukan tugas profesi memperoleh posisi yang prestisius dan mendapat imbalan gaji yang tinggi. Karenanya tidak semua pekerjaan yang ditekuni oleh seseorang walaupun sudah cukup lama otomatis disebut sebagai tugas profesi.

Dalam hal jabatan guru, National Education Association (NEA) (1948) merumuskan bahwa jabatan profesi merupakan jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual, menekuni suatu batang tubuh ilmu tertentu, didahului dengan professional yang lama, memerlukan pelatihan jabatan yang kontinyu, menjanjikan karier bagi anggota secara permanent, mengikuti standar baku mutu tersendiri, lebih mementingkan layanan kepada masyarakat dibanding dengan mencari keuntungan sendiri, dan memiliki suatu organisasi professional yang kuat dan dapat melakukan control terhadap anggota yang melakukan penyimpangan. Dari beberapa pengertian yang disebutkan di atas kini muncul pertanyaan: Apakah tugas mengajar atau jabatan guru dapat termasuk jabatan profesi?

Bisa jadi pertanyaan di atas memicu adanya jawaban yang beraneka ragam berdasarkan kenyataan yang dialami oleh para guru di lapangan. Namun Stinnett menegaskan bahawa jabatan guru sudah dianggap memenuhi criteria jabatan professional, bahkan mengajar bisa disebut sebagai ibu dari segala profesi.

Apalagi setelah disahkannya undang-undang tentang guru dan dosen, maka jabatan guru tidak boleh dipandang sebelah mata oleh siapapun. Karena dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut, jabatan guru sudah merupakan jabatan profesi yang setara dengan jabatan-jabatan profesi lainnya seperti Dokter, Perawat dan lain sebagainya.

Kalau dulu menjadi guru adalah pilihan terakhir ketika pilihan-pilihan utama tidak dapat tercapai, maka dengan diperhatikannya kesejahteraan guru oleh pemerintah, menjadi guru adalah sebuah pilihan yang utama. Jabatan guru merupakan jabatan terhormat dimasyarakat disatu sisi juga menjanjikan masa depan yang lebih terjamin dibanding profesi-profesi lainnya.

IV. DILEMA

Menjadi seorang guru dewasa ini kadang menimbulkan dilema tersendiri, hal ini dikarenakan adanya perbedaan antara guru PNS dan Non PNS. Pemerintah terkesan menganak emaskan guru PNS, disisi lain menganak tirikan guru non PNS. Padahal kalau kita lihat bahwa mengajar disekolah-sekolah swasta jauh lebih sulit dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri, secara administrasi guru-guru Non PNS dituntut secara professional sama dengan guru-guru PNS akan tetapi secara kesejahteraan terjadi kesenjangan yang cukup dalam. Guru PNS mendapatkan berbagai macam tunjangan dari pemerintah pusat atau daerah, sementara guru-guru Non PNS tidak mendapatkan apa-apa.

Ironis memang, tuntutan mencerdaskan anak didik mutlak menjadi tanggung jawab semua guru tanpa kecuali namun dalam kesejahteraan terjadi tebang pilih.

Sehingga yang terjadi banyak guru yang terpaksa mencari pekerjaan sampingan guna menopang kehidupan keluarganya. Akibatnya mereka tidak lagi konsentrasi dalam mengajar anak didiknya namun lebih kepada bagaimana bisa menghidupi keluarganya.

V. Masalah Kesehatan Fisik dan Mental guru

Berdasarkan penelitian guru sangat rentan terhadap penyakit yang berhubungan dengan radang tenggorok sampai sariawan. Hal ini dikarenakan intensitas mengajar yang tinggi tanpa ditopang dengan asupan vitamin yang memadai, akhirnya yang terjadi system immune ( kekebalan ) menurun dan ia menjadi gampang terserang berbagai macam penyakit, terutama dua penyakit di atas.

Disamping factor kesehatan fisik yang terganggu, para guru juga mengalami banyak gangguan mentalnya. Ada kemungkinan, menurut pendapat sejumlah peneliti, bahwa tidak adanya hidup kekeluargaan yang normal dan frustasi dalam hubungan seks yang normal turut menambah gangguan mental guru-guru wanita yang tidak kawin. Guru pria dianggap mempunyai mental yang lebih stabil bila mereka mempunyai keluarga yang normal.

Berdasarkan penelitian itu dapat dibuktikan adanya guru yang mengalami gangguan mental, bahwa ada diantaranya yang memerlukan perawatan psikiater. Akan tetapi penelitian itu tidak menunjukkan apakah gangguan mental itu lebih banyak terdapat di kalangan guru dibandingkan dengan profesi lain. Juga tidak diketahui apakah gangguan mental itu telah ada pada calon guru, nyata atau laten, sebelum ia melakukan profesinya ataukah gangguan mental itu timbul sebagai akibat pekerjaannya sebagai guru. Selanjutnya tidak diketahui hingga manakah gangguan mental itu merugikan murid dan proses belajar mengajar.

DAFTAR BACAAN

  1. Anwar, Qomari, Reorientasi Pendidikan Dan Profesi Keguruan, Jakarta : Uhamka Press, 2002
  2. S. Nasution, Prof.Dr, Sosiologi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 1995
  3. Ramayulis, Prof. Dr, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2002


sumber:

http://tanbihun.com/pendidikan/kompetensi-kepribadian-guru/

Jumat, 25 September 2009

Meningkatkan Mutu Madrasah Melalui Pemberdayaan MGMP



Kebijakan pemerintah meningkatkan mutu madrasah ternyata belum final. Puluhan bahkan ratusan, mungkin juga sudah ribuan kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk mendongkrak mutu madrasah. Pengelolah madrasahpun tidak ketinggalan melakukan inovasi untuk meningkatkan mutu input dan output madrasah. Meskipun demikian, peningkatan mutu madrasah masih kurang memuaskan. Walaupun ada juga beberapa madrasah yang mutunya setingkat dengan sekolah-sekolah dilingkungan Diknas. Namun madrasah yang seperti itu, jumlahnya masih sedikit dan belum representatif.

Diantara sekian banyak faktor yang mempengaruhi mutu madrasah adalah mutu guru. Guru merupakan profesi yang memegang peranan cukup besar dalam dunia pendidikan. Keberhasilan pendidikan di suatu madrasah tidak terlepas dari peranan guru. Tinggi rendahnya mutu pendidikan dimadrasah berkorelasi positif dengan tinggi rendahnya mutu guru. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah dan pengelola madrasah yang terkait dengan peningkatan mutu guru harus diutamakan.

Kesejahteraan guru dimadrasah, baik guru PNS maupun non PNS, dewasa ini mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Gajinya dinaikkan, tunjangan fungsional juga dinaikan. Tidak lama lagi guru-guru swata akan mendapatkan tunjangan dari pemerintah. Apalagi bagi yang lulus sertifikasi, ia akan mendapat tunjangan sebesar satu kali gaji. Sehingga tidak berlebihan bila belakangan ini banyak yang berkeinginan menjadi guru. Setelah sekian lama profesi ini sepi dari peminat yang berbakat. Karena mereka kuatir tidak punyak masa depan yang cerah hidup menjadi guru dengan gaji yang kecil.

Setelah kesejahteraan guru diperhatikan, pertanyaan yang muncul kemudian, jika gaji dan tunjagan para guru naik, apa ada jaminan mutu pendidikan akan naik? Seberapa besar signifikansinya? Mungkinkah bila gaji dan tunjagan guru naik, maka ia akan lebih profesional? Semoga saja ketika gaji dan tunjangan guru dinaikan, kinerjanya lebih profesional dan mutu pendidikan naik.

Kita tentu senang sekali gaji dan tunjangan guru naik. Namun sangat disayangkan bila tidak bisa merubah perilaku guru. Kurikulumya sudah ditetapkan KTSP, tetapi cara mengajar dan mengevaluasi tetap cara lama.Tidak ada kreatifitas yang menunjukkan suatu kemajuan setelah gaji dan tunjagan naik. Dan ironis sekali bila pemerintah sudah terlanjur banyak mengeluarkan biaya, tetapi profesionalme guru belum juga terwujud.

Memang tidak mudah menjadi guru yang profesional. Tetapi bukan berarti tidak bisa diraih. Selagi ada kemauan belajar untuk menguasi materi, metode, cara mengevaluasi, membuka diri untuk menerima hal-hal baru, dan mencoba menerapkan dalam pembelajaran dikelas, lambat laun kita akan menjadi guru yang berkarakter. Yaitu guru yang profesional. Oleh karena itu, pemberdayaan guru adalah suatu keharusan.

Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) merupakan wadah yang cocok untuk pemberdayaaan guru. MGMP adalah forum guru mata pelajaran yang berada pada tingkat kabupaten/ kota/ kecamatan/ madrasah. Anggaotanya semua guru mata pelajaran yang berstatus PNS dan non PNS. Berasal dari semua madrasah baik yang negeri maupun swasta. MGMP sebagai wadah profesi guru prinsip kerjanya dari, oleh, dan untuk guru.

Berdasarkan prinsip kerja, mati hidupnya kegiatan MGMP tergantung dari anggoatanya. Kegiatan MGMP semarak bila anggoatanya aktif menggelar banyak kegiatan. Akan tetapi bila kesadaran anggoatanya kurang, MGMP di suatu kabupaten/ kota/ kecamatan/ madrasah hanya tinggal nama. Mungkin hanya satu tahun satu kali ada kegiatan MGMP di kabupaten untuk lingkungan madrasah. Kegiatan itu baru terselenggara ketika ada proyek. Jika tidak ada, MGMP kembali fakum. Kadangkala MGMP kembali bergairah ketika ada suntikan dana dari pemerintah daerah melalui Diknas kabupaten. Itupun terjadi bila madrasah negeri, seperti MAN dan MTsN membuat proposal kegiatan MGMP satu tahun sebelumnya. Bila tidak mengajukan belum tentu mendapat kucuran dana.

Sebagai wadah prosesi keguruan yang bersifat non struktural, MGMP didirikan mempuyai tujuan dan fungsi. Arief Achmad 2004, memaparkan tujuan diselenggarakannya MGMP yaitu : Pertama, untuk memotivasi guru guna meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam merencanakan, melaksanakan, dan membuat evaluasi program pembelajaran; Kedua, untuk menyatakan kemampuan dan kemahiran guru dalam melaksanakan pembelajaran sehingga dapat menunjang usaha peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan; Ketiga, untuk mendiskusikan permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh guru dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan mencari solusi alternatif pemecahannya sesuai dengan karakteristik mata pelajaran masing-masing, guru, kondisi sekolah, dan lingkungannya; Keempat, untuk membantu guru memperoleh informasi teknis edukatif yang berkaitan dengan kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi, kegiatan kurikulum, metodologi, dan sistem pengujian yang sesuai dengan mata pelajaran yang bersangkutan; Kelima, saling berbagi informasi dan pengalaman dari hasil lokakarya, simposium, seminar, diklat, classroom action research, dan referensi; Keenam, mampu menjabarkan dan merumuskan agenda reformasi sekolah (school reform), khususnya focus classroom reform, sehingga berproses pada reorientasi pembelajaran yang efektif.

Sedangkan fungsi yang diemban MGMP, menurut Areif Achmad: Pertama, Menyusun program jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek serta mengatur jadwal dan tempat kegiatan secara rutin; Kedua, memotivasi para guru untuk mengikuti kegiatan MGMP secara rutin, baik di tingkat sekolah, wilayah, maupun kota; Ketiga, meningkatkan mutu kompetensi profesionalisme guru dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian/evaluasi pembelajaran di kelas, sehingga mampu mengupayakan peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan; Keempat, mengembangkan program layanan supervisi akademik klinis yang berkaitan dengan pembelajaran yang efektif; Kelima, mengembangkan silabus, sistem penilaian dan melakukan Analisis Materi Pelajaran (AMP), Program Tahunan (Prota), Program Semester (Prosem), Satuan Pelajaran (Satpel), dan Rencana Pembelajaran; Keenam, mengupayakan lokakarya, simposium dan sejenisnya atas dasar inovasi manajemen kelas, manajemen pembelajaran efektif (seperti : PAKEM-Pendekatan Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan-, joyful and quantum learning, hasil classroom action research, hasil studi komparasi atau berbagai studi informasi dari berbagai nara sumber, dan lain-lain.); Ketujuh, merumuskan model pembelajaran yang variatif dan alat-alat peraga praktik pembelajaran program Life Skill, baik Broad Based Education (BBE) maupun High Based Education (HBE).

Dilihat dari tujuan dan fungsinya, kehadiran MGMP mempercepat peningkatan mutu madrasah tidak bisa diragukan lagi. Namun dalam kenyataannya MGMP belum mampu mewujudkan tujuan dan fungsinya secara baik. Oleh karena itu, guru dimadrasah harus bangkit untuk melakukan perubahan. Bagaimana kegiatan MGMP tebih baik dan terprogram dengan profesional kedepan.

Kegiatan MGMP bisa berjalan sesuai dengan tujuan dan fungsinya, bila ada dukungan dari semua pihak. Baik dari unsur guru sendiri sebagai tenaga fungsional maupun dari lembaga-lembaga yang terkait. Seperti KKM dan Mapenda kantor Depag Kabupaten. KKM sebagai wadah pertumuan para kepala madrasah diharapkan bisa membina kegiatan MGMP. Dari hasil rapat pada tingkat ini kegiatan MGMP kedepan diharapkan lebih menggiatkan dunia pendidikan dilingkungan madrasah. Selain itu, pembinaan dari bagian Mapenda juga penting artinya untuk pemberdayaan MGMP. MGMP di madrasah perlu mendapat legitimasi dari bagian Mapenda kantor Depag Kabupaten. Bahkan bila memungkinkan Mapenda bisa membatu mencarikan atau menyediakan dana untuk kegiatan MGMP.

Mengingat pentingnya meningkatkan mutu madrasah, maka peningkatan profesionalisme guru melalui pemberdayaan MGMP suatu keniscayaan. Karena hingga kini, kita tidak bisa menutup mata bahwa mutu madrasah masih rendah. Melalui kegiatan MGMP guru diharapkan bisa meningkatkan kompetensi akademik dan sosial. Lewat forum MGMP guru lebih terampil merencanakan, melaksanakan, dan membuat evaluasi program pembelajaran. Melalui wadah ini pemeratan mutu guru bisa terwujud. Dan pada gilirannya, mutu madrasah semakin tinggi menjadi kenyataan.

sumber:
http://h4j4r.multiply.com/journal/item/6/Meningkatkan_Mutu_Madrasah_Melalui_Pemberdayaan_MGMP

Problem Peningkatan Mutu Madrasah

Sabtu, 13 Desember 2008 09:40
Masyarakat Indonesia tidak sedikit yang lebih mempercayai lembaga pendidikan madrasah daripada sekolah umum. Departemen Agama mencatat bahwa jumlah lembaga pendidikan madrasah tidak kurang dari 18 % dari seluruh lembaga pendidikan di Indonesia. Pada umumnya, (95%) madrasah berstatus swasta. Hanya sebagian kecil yang berstatus negeri. Lembaga pendidikan Islam ini diminati oleh masyarakat yang menghendaki para putra-putrinya memperoleh pendidikan agama yang cukup sekaligus pendidikan umum yang memadai.
Masyarakat peminat madrasah sadar bahwa ukuran keberhasilan pendidikan pada umumnya dilihat dari perolehan nilai Ujian Nasional (UN) atau tatkala telah lulus diterima oleh lembaga pendidikan jenjang berikutnya. Tetapi, pandangan seperti ini tidak selalu dipegangi. Sekalipun nilai UN yang diperoleh rendah yang berakibat sulit mendapatkan lembaga pendidikan berkualitas berikutnya, tidak selalu dirasakan sebagai problem berat sehingga mengurungkan anaknya masuk madrasah. Bagi mereka yang lebih penting adalah putra-putrinya memperoleh pendidikan agama secara cukup. Mereka meyakini betul, betapa pendidikan agama menjadi sangat penting dari pada lainnya.

Problem Kualitas

Sebagian banyak madrasah, jika dilihat dari hasil Nilai Ujian Nasional masih rendah, apalagi bila dibandingkan dengan sekolah umum pada umumnya. Kecuali beberapa madrasah yang ditangani secara khusus, ternyata juga berhasil unggul dan dapat meraih prestasi lebih tinggi bilamana dibandingkan dengan prestasi sekolah umum. Tetapi madrasah yang berhasil berprestasi seperti ini masih terbatas jumlahnya. Sebut saja misalnya, sebagai conoh Madrasah Terpadu Malang, yaitu Madrasah Ibtidaiyah Negeri, Madrasah Tsanawiyah Negeri dan Madrasah Aliyah Negeri Malang, prestasi akadmiknya setiap tahun selalu unggul dan dapat bersaing dengan lembaga pendidikan pada ummnya.

Membandingkan madrasah dengan sekolah umum, yang hanya dilihat dari hasil Ujian Nasional sesungguhnya tidaklah adil. Kedua jenis lembaga pendidikan ini sesungguhnya menyandang visi dan misi dan kondisi yang agak berbeda. Visi, misi dan kondisi yang berbeda tentu berimplikasi pada beban belajar dan perangkat pendukung yang berbeda pula. Tetapi anehnya, sebagian masyarakat menuntut hasil yang sama hanya dari sebagian prestasi yang dihasilkan, katakanlah hasil UN nya. Padahal keduanya sesungguhnya tidaklah sama. Sekolah umum, pada umumnya berstatus negeri. Dengan statusnya itu lembaga pendidikan pemerintah ini segala sesuatunya tercukupi sekalipun dalam batas-batas`minimal, misalnya guru, perpustakaan, laboratorium dan sarana pendidikan lainnya.
Berbeda dengan sekolah umum, madrasah yang pada umumnya berstatus swasta, yang dengan demikian selalu saja mengalami serba kekurangan, misalnya guru yang mengajar belum tentu memperoleh imbalan kesejahteraan yang cukup, buku-buku belum tentu tersedia dan apalagi sarana dan prasarana lainnya. Demikian pula, beban belajar siswa, jumlahnya jelas lebih banyak. Mata pelajaran agama sebagai ciri khas jumlahnya tidak sedikit, yang hal ini merupakan beban tersendiri bagi para siswa. Siswa madrasah kemudian mengikuti dua jenis ujian, yaitu ujian madrasah (mata pelajaran ciri khas), dan juga mengikuti ujian akhir nasional. Ironisnya yang dilihat tatkala melihat mutu madrasah hanya tertuju pada ujian akhir nasional, dan tidak memperhatikan prestasi lainnya, misalnya keberhasilannya dalam memperoleh prastasi kecerdasan spiritual mapun emosionalnya.
Semestinya, jika dua jenis lembaga pendidikan ini ingin diperbandingkan hasilnya maka seharusnya segala sesuatu yang mendukung dan bahkan muatan isi pendidikannya harus diberlakukan secara sama. Membandingkan hasil pendidikan dari dua jenis lembaga pendidikan yang tidak sama kondisi dan latar belakang kekuatannya akan menghasilkan kesimpulan yang tidak adil dan bahkan menyesatkan. Jika prestasi madrasah hanya dilihat dari hasil UN maka sesungguhnya tidak adil. Agar terjadi keadilan semestinya dilihat juga prestasi lainnya. Misalnya, tidak banyak terdengar anak madrasah, bahkan tidak pernah ada, yang terlibat kenakalan remaja secara serius dalam berbagai bentuknya. Bukankah ini sesungguhnya sebuah prestasi yang perlu diperhatikan secara memadai.

Nasib Lembaga Pendidikan Swasta

Kelahiran lembaga pendidikan swasta tidak selalu didorong oleh alasan karena tidak adanya lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan yang berstatus negeri. Sekalipun ada sekolah negeri, tetapi jika masyarakat memiliki aspirasi berbeda dengan lembaga pendidikan negeri yang sudah ada, maka apapun jadinya madrasah harus dibangun. Sementara masyarakat ada yang beranggapan bahwa lembaga pendidikan umum negeri dipandang belum memberikan pendidikan agama secara cukup. Bagi mereka yang memandang pendidikan agama lebih utama, maka mendorong masyarakat membangun lembaga pendidikan madrasah, sekalipun belum tentu madrasah baru itu tersedia tenaga pengajar maupun sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Akibatnya, pendidikan berjalan seadanya nya.
Pemerintah lewat Departemen Agama sesungguhnya telah memperhatikan soal-soal yang terkait dengan mutu hasil pendidikan, termasuk lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat, dengan memberlakukan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat diijinkan. Tetapi pada kenyataannya, segala persyaratan itu dihiraukan dan muncullah lembaga pendidikan dimaksud. Pada umumnya madrasah lahir melalui proses seperti ini, lahir dalam keadaan ang serba kurang berkecukupan jika dilihat dari kekuatan pendukungnya. Bagi pengelola madrasah, yang dianggap penting adalah identitas madrasah itu. Perkara isi pendidikan yang dilangsungkannya kurang memperoleh pertimbangan dan perhatian saksama. Kesadaran simbolik, berupa nama yang disandang ternyata bagi sementara masyarakat pendukung madrasah, masih mengalahkan tolok ukur yang dipatok oleh siapa saja termasuk pemerintah sekalipun.
Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan seperti ini tidak mudah. Masyarakat si empunya madrasah merasa memiliki otonomi seluas-luasnya. Tetapi sesungguhnya, jika pemerintah berketetapan hati meningkatkan kualitas lembaga pendidikan semacam ini, masih tersedia pintu masuk seluas-luasnya, asal intervensi pemerintah iitu tidak dirasakan mengganggu eksistensi dan aspirasi masyarakat pendirinya. Mereka dengan tangan terbuka bersedia menerima bantuan gedung, buku pelajaran dan bahkan tenaga pengajar sekalipun. Persoalannya adalah apakah ada ketulusan dan kesediaan mengikuti aspirasi masyarakat pecinta madrasah ini?

Belenggu Lingkaran Setan Madrasah Swasta

Pada umumnya satu-satunya penyangga financial kehidupan madrasah adalah wali murid sendiri. Sekalipun madrasah berada di bawah yayasan, tidak berarti bahwa semua yayasan tersebut mampu mencukupi seluruh kebutuhan madrasah. Pendanaan yang bersumber dari masyarakat, sesungguhnya tidak lebih dari sumbangan, baik yang dibayar awal masuk atau bulanan. Besarnya dana yang dipungut dari wali murid itu, umumnya juga tidak besar, apalagi madrasah yang berlokasi di daerah masyarakat miskin, amat kecil. Akibatnya, dana yang dapat dikumpulkan oleh madrasah juga kecil.
Kecilnya dana pendukung ini otomatis akan berpengaruh pada kecilnya kemungkinan madrasah memberikan insentif pada guru dan juga penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Padahal, lemahnya kedua factor pendidikan tersebut berakibat pendidikan dan pengajaran akan berjalan seadanya dan akibat selanjutnya kualitas pendidikan tidak akan dapat diharapkan. Kualitas hasil pendidikan yang rendah juga mengakibatkan motivasi dan partisipasi masyarakat juga rendah. Akhirnya, rendahnya motivasi dan partisipasi juga berakibat kecilnya dana madrasah yang dapat dihimpun. Hubungan sebab akibat yang mengitari dan bahkan melilit-lilit kehidupan madrasah inilah yang disebut dengan lingkaran setan madrasah swasta.
Persoalannya, jika negeri ini menginginkan lahirnya lembaga pendidikan yang berkualitas, merata dan demokratis perlu kiranya memotong lingkaran setan yang mengitari madrasah ini. Dari mana lingkaran setan itu dipotong dan diganti dengan lingkaran malaikat, maka jawabnya terserah pada kemauan kita dan juga pemerintah. Dengan menyediakan anggaran yang cukup, sehingga madrasah dapat menghidupi para guru-gurunya, melengkapi sarana dan prasarana pendidikannya, menyediakan buku-buku pelajarannya, tanpa mengganggu kemauan aspirasi mereka, insya Allah persoalan ini dapat terselesaikan.
Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional yang berhasil disahkan beberapa tahun lalu, kiranya memberikan peluang bagi pemerintah memberikan perhatian secukupnya terhadap seluruh lembaga penyelenggara pendidikan, termasuk pendidikan madrasah. Madrasah dengan segala kelemahan dan kekurangannya, pada hakekatnya ia dibangun atas dasar niat tulus dan jernih yaitu mengantarkan putra-putrinya selain agar cerdas dan trampil serta berwawasan luas, juga agar berkesempatan mengenali ajaran agamanya (Islam) secara cukup. Tokh, mungkin ada benarnya, sekalipun hasil pendidkan madrasah dari aspek intelektual tidak terlalu tinggi hasilnya, tetapi toh masih dikompensasi oleh kecerdasan spiritual, sosial dan emosional yang lebih unggul. Allahu a^lam.

Lima Daya Dongkrak Mutu Madrasah



Tentu kita sepakat bahwa madrasah yang maju berbeda dengan madrasah yang kurang maju. Karena perbedaan itulah, banyak orang tua lebih tertarik menyekolahkan anaknya pada madrasah yang maju. Bukan hanya orang tua, madrasah yang mapan lebih mendapat tempat di hati siswa sebagai pilihan untuk tempat belajar. Tempat memupuk dan menempa diri guna meniti cita-citanya dimasa yang akan datang.

Lalu apa yang membuat keduanya berbeda? Paling tidak kita bisa melihat perbedaan tersebut dalam lima hal penting yaitu dari aspek manajemen, sumber daya guru, pemanfaatan komputer dan internet dalam pembelajaran, budaya kerja tim (team work), dan pemanfaatan alat bantu pembelajaran. Lima hal ini merupakan daya dongkrat kualitas pendidikan pada madrasah. Oleh karena itu, pengelolah madrasah perlu memperhatikan lima hal tersebut agar madrasah yang dikelolahnya bisa diterima dan menjadi idaman masyarakat.

.

Manajemen Berbasis Visi

Madrasah yang maju, mempunyai visi-misi yang jelas. Jelas bagi pimpinan, staf kantor, dewan guru dan komite madrasah serta siswa. Visi-misi ini merupakan cita-cita yang ingin diwujudkan oleh pimpinan madrasah dibantu oleh pihak-pihak terkait. Untuk mewujudkan visi-misi madrasah perlu adanya pengaturun-pengaturan atau manajemen agar jalannya pendidikan di madrasah sesuai dengan yang dicita-citakan. Mulai dari manajemen administrasi kantor, sumber daya guru dan staf hingga pada manajemen siswa.

Coba kita cermati bagaimana madrasah maupun sekolah yang maju memenej siswanya. Dari awal diterima, siswanya sudah diidentifikasi potensi, bakat, dan minatnya. Kemudian mereka dikelompok-kelompokkan sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing. Ada yang dikelompokkan dalam kelas percepatan, pandai, sedang dan rendah. Semua pengelompokan ini memiliki kreteria yang jelas. Sehingga penanganan yang terkait dengan pemberdayaan dan pengembangan potensi mereka bisa berjalan secara optimal.

Pengelompokan semacam ini sangat penting bagi pihak madrasah, siswa dan orang tua. Bagi lembaga, pengelompokan itu memudahkan memberi pelayanan pembelajaran sesuai dengan kemampuan siswa. Membantu siswa mengembangkan bakat dan minatnya. Bagi siswa, ia akan lebih enak belajar karena disesuaikan dengan tingkat perkembangan psikologisnya. Siswa yang pandai tidak merasa dihambat oleh siswa yang lain karena ada siswa yang berkemampuan jauh lebih rendah. Atau sebaliknya, siswa yang kurang pintar jadi tidak nyaman belajar dengan temannya yang berkemampuan jauh lebih cerdas darinya. Bagi orang tua, pengaturan yang jelas semacan ini akan memberi masukan bagaimana kondisi anaknya. Dengan pengaturan yang sedemikian rupa itu, orang tua bisa menerima dan menghargai potensi, bakat dan minat anaknya. Sehingga tidak ada pemaksaan kehendak orang tua untuk menjadikan anaknya sesuai dengan selera dan cita-citanya. Sebab keinginan orang tua yang tidak sesuai dengan tingkat kecerdasan dan psikologis anak, akan membahayakan pertumbuhan mental anaknya.

Selain diarahkan untuk mencapai kemampuan akademik tertentu, siswa juga harus diarahkan bagaimana memupuk mental spritual serta mengasah kepekaan terhadap karya seni. Menamkan nilai-nilai spritual sangat penting dan utama untuk dilakukan oleh semua guru kepada siswanya. Karena tanpa adanya nilai-nilai ini, siswa akan menjadi anak pandai tetapi tidak bermoral. Siswa juga perlu diajari bagaimana cara menghargai karya seni dan mengekspresikan karya seni. Baik yang berupa seni musik, suara, dan seni lukis serta seni pahat dengan cara menyediakan sarana yang menunjang aktifitas seni mereka.

SDM Guru

Perbedaan berikutnya, yang membedakan madrasah maju dengan yang tidak maju dapat di lihat dari aspek kualifikasi guru. Guru pada madrasah maju berkualifikasi sesuai dengan bidang studi yang diampuhnya. Dan jenjang pendidikannya mayoritas sarjana bahkan yang telah menyelesaikan program master juga tidak sedikit. Sehingga wajar bila madrasah yang mempunyai sumber daya guru yang berkualifikasi seperti itu maju dan terpercaya.

Namun demikian, madrasah yang kurang majupun tidak menutup kemungkinan untuk mengimbangi kualifikasi guru-guru pada madrasah maju. Untuk mengejar kualifikasi tersebut, bisa dengan cara sering mengikuti pelatihan dan workshop. Karena pelatihan dan workshop akan meningkatkan rasa percaya diri dan menambah pengalaman serta wawasan. Belajar kembali materi yang diampuh lebih mendalam. Belajarlah pada guru lain bagaimana berkomunikasi secara efiktif dan mengkomunikasikan pelajaran pada siswa secara benar. Sehingga tidak terjadi miskonsepsi dan mispersepsi anak pada pelajaran yang disampaikan.

Selain itu, belajar juga metode pembelajaran dan model-model pembelajaran agar siswa tidak bosan dengan satu metode ataupun model pembelajaran. Sebab dengan metode maupun model pembelajaran yang tepat untuk menyajikan suatu materi akan meningkatkan minat dan motivasi belajar siswa. Kemudian, belajarlah bagaimana cara mengevaluasi hasil pembelajaran dengan benar. Sebab tanpa adanya suatu evaluasi yang tepat suatu pembelajaran tidak akan terukur dengan baik dan sulit memberikan tindakan perbaikan.

Komputer dan Internet

Daya dongkrak mutu pada madrasah berikutnya adalah pemanfaatan komputer dan internet. Pemanfaatan komputer dan internet ini yang membedakan madrasah maju dengan yang kurang maju. Intensitas madrasah maju menggunakan komputer dan internet jauh lebih sering dibandingkan madrasah kurnag maju. Sebab pada madrasah kurang maju, jagankan internet, komputer hanya punyak satu hingga tiga unit. Komputer ini pun digunakan oleh bagian administrasi, guru dan siswa.

Dengan komputer, pekerjaan guru akan jauh lebih cepat diselesaikan. Tingkat akurasinya tinggi dan mudah diedit. Pekerjaan administrasi guru yang bila dikerjakan manual paling tidak butuh waktu 3 hari bisa diselesaikan dengan bantuan komputer dalam hitungan beberapa jam saja. Komputer juga bisa mempercepat proses duplikasi dengan cara copy - paste. Sehingga pekerjaan dimadrasah lebih cepat selesai dan tidak butuh tenaga ekstra.

Sedangkan internet sangat bermaanfaat untuk mencari informasi dan memperbaharui pengetahuan guru. Semakin terampil seorang guru memanfaatkan layanan internet akan semakin luas pengetahuan dan pengembangan wawasannya. Selain itu, siswa juga bisa dianjurkan untuk mengakses materi pelajaran di internet untuk melengkapi penjelasan guru ketika belajar di kelas. Guru bisa juga menyarankan siswa untuk mengakses di internet dalam meyelesaikan tugas-tugas individu maupun kelompok.

Team Work

Kerja tim adalah jawaban untuk menyelesaikan tugas berat pendidikan. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila kerja tim bisa dijadikan daya ungkit untuk meningkatkan mutu madrasah. Sebab, dengan kerja tim pekerjaan di madrasah yang mestinya dikerjakan satu bulan dengan kerja sendirian, maka bisa diselesaikan dalam satu minggu saja. Dengan tim, pekerjaan di madrasah menjadi tanggung jawab bersama. Dengan cara ini diantara anggota tim saling melengkapi. Sehingga akan timbul sikap yang positif diantara anggota tim. Dan terhindar dari sikap kompetitif yang tidak sehat.

Kerja tim tidak melihat perbedaan senior dengan yunior. Dalam kerja tim, diharapkan saling percaya dan terbuka. Tidak perlu gensi menerima masukan dan takut memberikan masukan pada teman dalam timnya. Dengan kerja tim kita belajar bagaimana bersosialisasi dan mengembangkan wawasan serta kepribadian.

Dalam pembelajaran, madrasah maju menerapkan kebijakan pembelajaran team teaching hingga lesson study. Sebab, dengan kebijakan semacam ini antara guru bisa saling berbagi pengelaman dalam pembelajaran. Serta dapat meminimalisir kesalahan guru ketika menyampaikan konsep dan suatu prinsip. Oleh karena itu, madrasah yang ingin maju juga harus belajar pada madrasah yang sukses dalam masalah kerja tim maupun dalam pembelajaran tim.

Pada level siswa, kerja tim atau kerja kelompok juga harus dibudayakan. Sebab mereka adalah makluk sosial. Oleh karenanya bekerja dalam kelompok harus ditanamkan sejak dini. Sehingga kelak di masa dewasanya mereka sudah terampil bekerja dalam kelompok. Untuk maksud itu, maka guru harus mengajar siswa dengan pembelajaran kooperatif.

Alat Bantu Pembelajaran

Mengapa alat bantu pembelajaran merupaka salah satu daya dongkrak mutu pendidikan pada madrasah? Alasannya, pada suatu diklat seorang instruktur mengeluarkan tali rafia dari dalam tasnya. Lalu mendekati salah seorang peserta diklat. Instruktr tersebut meminta bantuannya untuk memutuskan tali itu. Meskipun tali tadi ditarik dengan sekuat tenaga, namun tali tersebut belum putus. Sehingga instruktur tadi meminta peserta yang lainnya untuk membantu temannya. Tali itu, belum juga putus. Lalu sang instruktur balik lagi kemejanya, membuka tas dan mengambil sebuah gunting. Diambillah tali tadi lalu beliau gunting tali tersebut. Dengan bantuan gunting tersebut tali itu putus menjadi dua bagian yang sama. Hebat bukan? Begitulah kira-kira fungsi dari alat bantu pembelajaran. Yaitu memudahkan guru maupun siswa dalam kegiatan pembelajaran.

Beberapa sarana dan prasarana yang bisa digunakan sebagai alat bantu pembelajaran antara lain buku, alat peraga, model, perpustakaan, dan laboratorium. Kelengkapan sarana ini sangat menentukan keberhasilan siswa belajar pada suatu madrasah. Oleh karena itu, madrasah yang mengharapkan kualitas siswanya unggul, maka kelengkapan yang menunjang keberhasilan pembelajaran di madrasah harus dipenuhi.

Akhirnya, lima daya dongkrak pendidikan telah kita ketahui, lalu mulai dari mana kita akan meningkatkan mutu madrasah? Tentu dari yang bisa kita lakukan. Oleh karena itu, lakukan dengan cara diluar kebiasaan saat ini. Karena cara biasa akan menghasilkan hasil yang biasa pula.


sumber: http://h4j4r.multiply.com/journal/item/8/Lima_Daya_Dongkrak_Mutu_Madrasah