Minggu, 29 November 2009

Madrasah Alami Diskriminasi Sejak Zaman Penjajahan Hingga Kini

Kapanlagi.com - Madrasah mengalami diskriminasi sejak zaman penjajahan Belanda dan masih terdiskriminasi hingga masa kemerdekaan saat ini.

Hal tersebut dinyatakan oleh Prof Dr Husni Rahim dalam Pidato Pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam bidang Pendidikan pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah di Jakarta, Sabtu (10/09).

"Kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan dan membatasi karena kekhawatiran akan munculnya militansi kaum muslimin terpelajar," ujarnya.

Wujud kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang menekan itu misalnya, tercermin dalam ordonansi guru pada 1905 kemudian diperbarui pada 1926 yang mewajibkan guru-guru agama memiliki surat izin mengajar.

Pengalaman penjajahan yang direpotkan perlawanan rakyat di Cilegon pada 1888 yang dikenal sebagai pemberontakan petani Banten, misalnya, dipengaruhi oleh kyai-kyai pesantren dan pemimpin tarekat menjadi pelajaran serius untuk menerbitkan peraturan tersebut.

Selain itu juga Ordonansi sekolah liar sejak 1932 yang dimaksudkan untuk mengawasi sekolah swasta yang diselenggarakan orang Indonesia dan Timur asing lainnya.

"Kebijakan itulah yang memicu madrasah dan pesantren mengisolir diri dari dunia luar dengan tetap mengajarkan pelajaran agama," katanya.

Setelah Indonesia merdeka, perhatian terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya lebih meningkat.

Badan Pekerja Komite Indonesia Pusat (BPKIP), misalnya, menerbitkan maklumat tentang perlunya peningkatan pengajaran di madrasah.

Pada 1946 Kementerian Agama resmi berdiri yang antara lain bertugas mengurusi pendidikan agama di sekolah umum dan di sekolah agama (madrasah dan pesantren), ujarnya.

Sayangnya perhatian itu tak berlanjut dan tampak dari UU Pendidikan Nasional No 4/1950 jo UU No 12/1954 yang hanya memasukkan pendidikan agama di sekolah umum, namun soal madrasah dan pesantren tidak dimasukkan sama sekali, ujarnya.

Keppres No 34/1972 dan Inpres No 15/1974 oleh Presiden Soeharto juga dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dan pendidikan nasional yang memunculkan reaksi keras umat Islam.

Untuk meredam reaksi tersebut kemudian muncul Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yakni Menag, Mendikbud dan Mendagri pada 1975 yang mensejajarkan level madrasah dengan sekolah umum seperti Madrasah Ibtidaiyah yang setingkat dengan SD.

SKB itu juga menilai sama ijasah sekolah umum dan madrasah serta membuka peluang siswa madrasah sejajar dan bisa berpindah ke sekolah umum dan sebaliknya.

Namun konsekuensinya, lanjutnya, komposisi kurikulum madrasah 70 persen adalah mata pelajaran umum dan 30 persen pelajaran agama sehingga menambah beban siswa madrasah, di sisi lain 30 persen pelajaran agama termasuk bahasa Arab tak mencukupi lulusan madrasah menjadi calon ulama.

"Perlakuan diskriminatif tetap dirasakan ketika lulusan madrasah melanjutkan ke perguruan tinggi atau dunia kerja," katanya.

Perjuangan mendapat perlakuan sama dicapai ketika keluar UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana madrasah dianggap sebagai sekolah umum berciri khas Islam yang kurikulumnya sama persis dengan sekolah umum namun ditambah pelajaran agama Islam.

"Namun penerapan 100 persen kurikulum sekolah berakibat siswa madrasah dibebani lebih berat dibanding sekolah umum padahal fasilitas belajar lebih buruk, maka kualitas lulusan madrasah pun tidak maksimal dan serba tanggung," katanya.

UU Sisdiknas No 20/2003 sebenarnya semakin mengurangi ketimpangan yang ada dengan memasukkan pendidikan keagamaan dalam bagian tersendiri, namun demikian tetap sulit meningkatkan citra madrasah menjadi lebih tinggi.

"Sampai sekarang diskriminasi tetap terjadi, termasuk perhatian Pemda-pemda yang masih kurang, misalnya Pemda DKI yang hanya memberi tunjangan kepada guru sekolah agama Rp750 ribu (per tahun -red), sementara guru sekolah umum diberi tunjangan Rp1 juta," katanya. (*/lpk)

http://www.kapanlagi.com/newp/h/0000081622.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar