Kamis, 24 Juni 2010

Proposal Kerjasama

PROPOSAL PENGAJUAN KERJASAMA
SOSIALISASI KEASLIAN UANG RUPIAH
BAGI PEMERINTAH, APARAT PENEGAK HUKUM, PELAKU EKONOMI DAN MASYARAKAT
DI KOTA DAN KABUPATEN SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT

PENGUSUL PROGRAM: PENGURUS PERSATUAN GURU MADRASAH (PGM) KAB. SUKABUMI

A. Latar Belakang Masalah
Peredaran uang palsu di Kota dan di Kab. Sukabumi makin mengkhawatirkan. Secara umum, di Jawa Barat meningkat hingga 59 persen sepanjang 2009. Uang palsu itu banyak ditemukan Kantor Bank Indonesia Bandung di 10 kota dan kabupaten seperti Bandung, Cimahi, Sumedang, Cianjur, Garut, Purwakarta, Subang dan Sukabumi.
Naek Tigor Sinaga, sebagai Juru Bicara Kantor Bank Indonesia Bandung dalam pembicaraan dengan Tempo di Bandung, Ahad (24/1/2010), menyatakan bahwa sekitar 10.583 lembar atau bilyet dan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Nominal yang ditemukan mencapai Rp 619,78 juta. Uang palsu yang ditemukan paling banyak pecahan Rp 50 ribu dan Rp 100 ribu. Sisanya bervariasi. Sebagian besar yang ditemukan, kata Naek, adalah akumulasi dari temuan uang palsu semua bank di wilayah KBI Bandung dalam transaksinya. Dari jumlah itu, 53 persen atau setara 5.581 lembar dilaporkan bank termasuk yang ditemukan di loket layanan penukaran uang di KBI Bandung. Selebihnya hasil temuan polisi. Jumlahnya mencapai 37 persen atau 3.984 lembar.
Polresta Sukabumi, Jawa Barat, berhasil membongkar sindikat pengedar uang palsu yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah, empat pelakunya ditahan di Mapolresta Sukabumi dan Polsek Sukaraja.Keterangan yang dihimpun Selasa, menyebutkan, polisi menyita uang palsu senilai Rp 700 juta dalam bentuk pecahan Rp 100 ribu di salah satu hotel di Desa Pasir Halang, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi pada tanggal 20 April 2010 lalu dan menangkap tiga orang tersangka, yakni RA (44), HG (30), dan YR (46). . Kemudian berhasil pula menyita uang palsu senilai Rp1,2 juta dalam bentuk pecahan Rp100 ribu di kawasan Cikeong, Kelurahan Jayaraksa, Kecamatan Baros, Kota Sukabumi pada tanggal 10 Mei 2010, pelakunya ES (59) warga Desa Kerta Angsana, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi.
Selain di Kabupaten Sukabumi, peredaran uang palsu di Kota Sukabumi pun tidak kalah hebatnya. Jaringan pengedar uang palsu yang beroperasi di wilayah Kota Sukabumi kembali diungkap aparat kepolisian. Kali ini anggota jaringan yang berhasil ditangkap aparat Polsek Warudoyong, Kota Sukabumi itu, tidak hanya membawa rupiah yang tidak asli tetapi juga mengantungi mata uang asing palsu.
Pelakunya bersinisial SM, 42 tahun, yang mengaku berasal dari Kampung Neglasari, Desa Bojonghaur, Kecamatan Lengkong Kabupaten Sukabumi. Dari tangan SM. polisi menyita beberapa lembar uang palsu dalam bentuk rupiah, dolar Amerika dan dolar Singapura. Diajuga menyimpan sejumlah uang kuno yang sudah habis masa edarnya.
Kepada aparat yang memeriksanya. SM mengaku bermata pencaharian dari usaha tukar-menukar mata uang dan uang kuno. Dia mendapatkan komoditas yang diperdagangkannya dari seorang rekan bisnisnya yang tinggal di bandung. "Saya memang mencari nafkah dari usaha jual beli mata uang kuno," kata SM ketika ditemui di ruang tahanan Polsek Warudoyong, Kamis (3/6/2010).
Barang bukti yang berasal dari tangan SM berupa 62 lembar Rp 100.000 atau senilai Rp 6.2 juta, 462 lembar uang dolar Singapura senilai $Sinl0. 000, dan uang kuno dalam bentuk dolar Amerika senilai USD 100,000 sebanyak 400 lembar. Semua uang itu terbukti sebagai uang palsu. "Saya mendapatkan uang itu dari rekan saya yang tinggal didi Jalan Soekarno-Hatta. Bandung," aku SM.
SM menjelaskan prosedur yang harus ditempuhnya untuk mendapatkan upal dalam bentuk dolar. Dia harus menyerahkan uang sebanyak Rp 10 juta sebagai harga pembelian untuk upal dolar. Rencananya, upal-upal tersebut akan diedarkan di wilayah Banten. Sedangkan upal rupiah dia dapatkan dari rekannya yang lain warga Banten.
Itulah gambaran mengenai peredaran uang palsu yang terjadi di Kota dan Kabupaten Sukabumi. Hal ini, antara lain kemungkinan pemahaman, pengetahuan masyarakat tentang keaslian uang rupiah masih minim. Semua pihak diharapkan memiliki pengetahuan tentang masalah uang. Termasuk mengenai keaslian uang rupiah yang kita miliki. Persatuan Guru Madrasah (PGM) Kab. Sukabumi senantiasa berkomitmen untuk terlibat secara aktif dalam menyukseskan program pemerintah.
Bank Indonesia, sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan, mencabut, menarik, serta memusnahkan uang Rupiah dari peredaran, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan uang Rupiah di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu dan dalam kondisi yang layak edar.
Dalam implementasinya, pelaksanaan kewenangan dimaksud, Bank Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Salah satu dimaksud adalah adanya risiko peredaran uang Rupiah palsu di masyarakat. Peredaran uang Rupiah palsu yang tinggi, selain berpotensi mengurangi psikologis kepercayaan masyarakat dalam memegang uang Rupiah juga merugikan masyarakat yang memilikinya, mengingat tidak adanya penggantian terhadap uang palsu yang dimiliki.
Guna menghadapi tantangan tersebut, Bank Indonesia telah dan akan terus melakukan berbagai upaya yang bersifat preventif, diantaranya dilakukan dengan cara :
1) menyebarluaskan informasi ciri-ciri keaslian uang rupiah melalui penayangan Iklan Layanan Masyarakat dengan tema “3D (Dilihat, Diraba dan Diterawang)” di berbagai media massa baik TV, Radio, Surat Kabar maupun Majalah;
2) melakukan kegiatan tatap muka dengan berbagai lapisan masyarakat dan instansi berwenang dalam rangkaian acara sosialisasi.

Dengan berbagai upaya preventif tersebut, khususnya melalui kegiatan sosialisasi keaslian uang Rupiah, Bank Indonesia berharap masyarakat dapat mengetahui dan mengenali ciri-ciri keaslian uang Rupiah secara mudah, cepat dan tepat sehingga mampu membedakannya dengan uang Rupiah palsu.
Dalam hal penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana uang palsu, Bank Indonesia juga telah dan terus melakukan kerjasama dengan beberapa Instansi termasuk di antaranya kerjasama dengan Pengurus Persatuan Guru Madrasah (PGM) Kabupaten Sukabumi.
B. Tujuan Kegiatan
1. Tujuan Umum
Secara umum Kegiatan Sosialisasi Keaslian Uang Rupiah dimaksudkan untuk membuka ruang informasi publik dan memberikan pembelajaran dalam membangun kesadaran kritis Pemerintah Daerah, Aparat Penegak Hukum, Pelaku Ekonomi dan Masyarakat terhadap keaslian uang rupiah dan mampu membedakan uang Rupiah Asli dengan Uang Rupiah Palsu.

2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dilaksanakannya Sosialisasi Keaslian Uang Rupiah ini adalah sebagai berikut:
a. Menjelaskan kebijakan Bank Indonesia dalam bidang Pengedaran Uang
b. Menyebarluaskan ciri-ciri keaslian uang rupiah
c. Sebagai salah satu upaya menangkal peredaran uang rupiah palsu
d. Membantu Pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia dalam mensosialisasikan Keaslian Uang Rupiah agar masyarakat lebih mengetahui dan membedakan uang Rupiah Asli dengan Uang Rupiah Palsu.
e. Mendapatkan input kritis dari masyarakat terhadap keberadaan uang palsu yang beredar di masyarakat..
f. Mendorong terbukanya ruang publik antara Bank Indonesia dengan Masyarakat.

C. Output
Diharapkan output dari kegiatan Sosialisasi ini adalah sebagai berikut:
a. Terosialisasikannya kebijakan Bank Indonesia dalam bidang Pengedaran Uang
b. Teridentifikasinya ciri-ciri keaslian uang rupiah
c. Meningkatnya kesadaran Pemerintah Daerah, Aparat Penegak Hukum, Pelaku Ekonomi dan Masyarakat untuk menangkal peredaran uang rupiah palsu
d. Tersosialisasikannya Program Penerintah dalam hal ini Bank Indonesia dalam mensosialisasikan Keaslian Uang Rupiah agar masyarakat lebih mengetahui dan membedakan uang Rupiah Asli dengan Uang Rupiah Palsu.
e. Teridentifikasinya beberapa input kritis dari masyarakat terhadap keberadaan uang palsu yang beredar.
f. Munculnya keterbukaan ruang publik antara Bank Indonesia dengan Masyarakat.

D. Tema Kegiatan
Membangun Kesadaran dan Kecintaan terhadap Uang Rupiah: Upaya Menekan Peredaran Uang Palsu di Kota dan Kabupaten Sukabumi

E. Materi dan Narasumber
Materi dalam kegiatan Sosialisasi ini ini adalah sebagai berikut
1. Kelembagaan Bank Indonesia.
2. Perbankan Konvensional.
3. Perbankan Syariah.
4. Manajemen Pengedaran Uang.
5. Ciri-ciri Keaslian uang Rupiah.


F. Waktu dan Tempat Kegiatan
Waktu : Bulan Juli-Agustus 2010 (disesuaikan dengan kalender BI)
Tempat : Hotel Augusta Cikukulu Kab. Sukabumi

G. Peserta Kegiatan
Peserta Kegiatan Sosialisasi ini, dialokasikan untuk 300 orang peserta, dengan rincian sebagai berikut:
1. Pemerintah Daerah= 16 orang
a. Pemda Kota Sukabumi = 5 orang
b. DPRD Kota Sukabumi = 3 orang
c. Pemda Kabupaten Sukabumi = 5 orang
d. DPRD Kabupaten Sukabumi = 3 orang

2. Penegak Hukum=134 orang
a. Polres Kota Sukabumi = 4 orang
b. Polsek Se-Kota Sukabumi = 30 orang
c. Polres Sukabumi = 4 orang
d. Polres Se-Kab. Sukabumi = 80 orang
e. Kejaksaan Negeri Sukabumi = 4 orang
f. Kejaksaan Cibadak Sukabumi = 4 orang
g. Pengadilan Kota Sukabumi = 4 orang
h. Pengadilan Kab. Sukabumi = 4 orang
3. Pelaku Ekonomi= 50 orang
a. SPBU se-Kota dan Kab. Sukabumi
b. KUD se-kota Sukabumi
c. KUD se-kab. Sukabumi
d. Perusahaan Ritel di Kota dan Kab. Sukabumi
1. Yogya 7. Selamart
2. Superindo 8. Berkah
3. Giant 9. Yomart
4. Ramayana 10. Alfamart
5. Matahari 11. Indomart
6. Tiara 12. Multi Grosir
e. Koperasi-koperasi Pegawai dan Swasta
4. Masyarakat= 100 orang
a. PGM Kab. Sukabumi = 10 orang
b. PGM Kota Sukabumi = 5 orang
c. PGM Kec. Se-Kota Sukabumi = 15 orang
d. PGM Kec. Se-Kab. Sukabumi = 40 orang
e. Tokoh Masyarakat Kota Smi = 10 orang
f. Tokoh Masyarakat Kab Smi = 20 orang
H. Perlengapan yang Dibutuhkan
Selama Kegiatan sosialisasi ini berlangsung diperlukan berbagai peralatan untuk menunjang kegiatan dimaksud yang meliputi : Kertas Plano, Selotif Kertas, KIT peserta, LCD, foto digital, kertas HVS, spidol, cutter, lem, gunting, komputer, printer, dll.

I. Fasilitas bagi Peserta
Seluruh peserta Sosialisasi ini akan mendapatkan fasilitas berupa : KIT, Materi, Snack, Coffee Break, Makan siang dan uang transport.

J. Panitia Penyelenggara
Panitia Penyelenggara kegiatan Sosialisasi ini adalah:
1. Unsur Bank Indonesia
2. Unsur Pengurus DPD PGM Kab. Sukabumi

Susunan Panitia Terlampir.

K. Anggaran Biaya
Anggaran biaya terlampir
L. Penutup
Demikian Proyek proposal kegiatan Sosialisasi ini dibuat, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih

Menag Mengaku Malu Jika Ada Gedung Madrasah Roboh

Jakarta(Pinmas)--Menteri Agama Suryadharma Ali mengaku merasa malu jika ada gedung madrasah bocor, apa lagi roboh karena tak diperhatikan.

Pernyataan tersebut dikemukakan pada acara Pembinaan dan Temu Silaturahmi Komunitas Pendidikan Madrasah di Lingkungan Kanwil Kementerian Agama DKI Jakarta, Rabu (23/6).

Jika ada gedung tua, bocor atau roboh harus segera diperbaiki. Bocor saja sudah malu apa lagi roboh. Untuk itu, pihak Kakanwil harus memberi perhatian. "Jika tak memperhatikan juga karena alasan tak ada uang, laporkan Kakanwilnya kepada menteri," kata Menag yang disambut tempuk tangan hadirin.

Menag menyatakan sangat memberi perhatian tinggi terhadap pendidikan, termasuk di lingkungan madrasah. Namun diingatkan agar dalam meningkatkan kualitas pendidikan harus dilakukan tak mengambil jalan pintas, misalnya langsung mendirikan madrasah bertaraf internasional.

Ada desakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di lingkungan Kementerian Agama ditempuh dengan membangun madrasah bertaraf internasional. Padahal, kata Menag, jika diperhatikan, sejak awal pembangunan infrastrukturnya butuh dana besar. Semua bermuara pada anggaran tinggi.

Untuk meningkatkan kualitas pendidikan harus dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan. Jika ada lembaga pendidikan kualitasnya kurang baik, harus didorong menjadi baik. Yang sudah baik diupayakan menjadi yang terbaik. Dengan cara itu, tentu warga lain yang tak memiliki kemampuan akan memperoleh kesempatan dalam menikmati pendidikan, kata Menag.

Menag menambahkan, upaya meningkatkan pendidikan madrasah pun tak melulu harus ditempuh dengan cara-cara memperbanyak madrasah negeri. Tapi bisa dilakukan dengan memperluas bangunan madrasah bersangkutan. Dengan cara itu, tak ada kelas kosong.

"Membangun fisik madrasah harus pula dijawab dengan peningkatan kualitas," ucap Menag.

Pada acara tersebut Menag juga sempat membentangkan dampak kemajuan dunia maya, yang belakangan ini ikut mempengaruhi moralitas anak didik, seperti peredaran video tak senonoh yang diperankan artis lokal.

Juga dampak penggunaan narkoba, yang belakangan ini jika dilihat dari laporan Badan Narkotika Nasional (BNN) mencapai ribuan orang generasi muda tewas. "Penyalahgunaan narkoba bahanya tak kalah hebat dibanding kejahatan teroris," kata Suryadhara Ali.(ant/es/ts)

Menag Imbau Guru Madrasah Respon Gangguan Pendidikan

Jakarta (Pinmas)--Menteri Agama Suryadharma Ali mengimbau para pendidik di lingkungan Kementerian Agama bersikap tanggap dengan perkembangan situasi dan kondisi yang dapat mengganggu dunia pendidikan maupun proses pendidikan, seperti masalah pornografi dan narkoba.

"Guru harus merespon perkembangan yang mengganggu pendidikan seperti pornografi. Kasus terakhir ini saya meragukan kalau para siswa belum melihat," kata Suryadharma Ali pada acara pembinaan dan temu silaturahmi dengan komunitas pendidikan madrasah di lingkungan Kanwil Kemenag DKI Jakarta, Rabu (23/6).

Diakui Menag bahwa teknologi komunikasi banyak membantu masyarakat apabila dipergunakan secara positif. Namun menurut dia alat teknologi dapat juga bisa berdampak negatif. "Saat ini apa saja sudah bisa masuk kamar anak-anak kita, begitu mudah. Karena itu mohon jadi perhatian," pesannya.

Di hadapan ratusan guru madrasah Menag juga mengatakan, bahwa Indonesia bagaikan surga bagi penyelundupan, distribusi dan pemakai narkoba. "Tapi belum jadi masalah serius disini," ujarnya.

Padahal lanjut Surydharma, Badan Narkotika Nasional (BNN) sudah memperingatkan bahaya narkoba, setiap hari sekitar 100 orang meninggal dunia akibat memakainya. "Ini lebih jahat dari teroris," tandasnya.

Menteri juga menyampaikan merasa prihatin dengan kecenderungan penurunan minat belajar pada program studi agama, termasuk pula orang tua tidak cenderung menyekolahkan anaknya pada lembaga pendidikan agama.

Seperti di UIN (Universitas Islam Negeri), kata Menag, lebih dicenderungi program-program non agama, sedangkan fakultas ushuluddin peminatnya semakin berkurang. "Kalau tarbiyah masih lumayan, karena out put menjadi guru, gajinya kan juga semakin naik," kata Suryadharma.

Menurutnya, kecenderungan itu bisa jadi karena ada kekeliruan di masa lalu dalam membedakan ilmu agama dan ilmu non agama, dengan membagi dalam dua kelompok; seperti biologi, fisika, kimia sebagai ilmu non agama. Ilmu agama hanya tafsir, fiqih dan sejenisnya. "Padahal ilmu hanya satu, ilmu Allah," ujarnya.

Untuk itu, lanjut Menag, lembaga pendidikan agama seperti pesantren dan madrasah harus selalu meningkatkan mutu dan kualitas. Salah satunya upaya itu adalah melakukan pertukaran mutu antara lembaga yang dikelola kementerian pendidikan nasional dan kementerian agama. "Untuk itu kita sekolahkan madrasah dan kita madrasahkan sekolah," ujarnya.

Sementara itu Kakanwil Kemenag DKI Jakarta, Sutami melaporkan pada tahun 2010 tingkat kelulusan madrasah di wilayahnya cukup baik, Madrasah Ibtidaiyah setingkat sekolah dasar lulus 100 persen, Madrasah Tsanawiyah (SMP) juga lulus 100 persen, dan Madrasah Aliyah (SMA) lulus 99,90 persen.

"Namun masih ada masalah, sertifikasi guru madrasah baru selesai 24,56 persen dan akreditasi madrasah juga baru 41,3 persen," kata Sutami. (ks)
http://kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=5866

Senin, 21 Juni 2010

LAGI, TIGA PEJABAT KANDEPAG DIPERIKSA

Wednesday, 28 October 2009 07:09
Sukabumi(SI) – Kejaksaan Negeri (Kejari) Cibadak, Kabupaten Sukabumi,terus memeriksa satu per satu pejabat di lingkungan Kantor Departemen Agama (Kandepag) setempat.Kemarin,giliran Kepala Kandepag Sukabumi Cep Ismail.

Dia diperiksa terkait kasus dugaan korupsi dana bantuan operasional sekolah (BOS) Salafiyah sebesar Rp 150 juta di Pondok Pesantren AI, Kecamatan Sukalarang, Kabupaten Sukabumi. Cep Ismail menjalani pemeriksaan di ruang Seksi Pidana Khusus (Pidsus) dalam kapasitasnya sebagai manajer BOS Salafiyah pada 2007.

Bersamaan itu, tim penyidik juga memeriksa dua pejabat Kandepag Sukabumi lainnya yakni Hasen Chandra (Manajer BOS Salafiyah pada 2008) dan Ida Farida (Manajer BOS Salafiyah tahun 2009). ”Penyidikan kasus ini dilakukan secara maraton.Karena itu satu per satu pejabat Kandepag dimintai keterangannya, terutama mengenai mekanisme pengajuan dan pencairan.

Pasalnya,program pendidikan kesetaraan di lingkungan pondok pesantren ini merupakan tanggung jawab Kandepag,” papar Kepala Seksi Pidsus Kejaksaan Negeri Cibadak Dedy Supardi,kemarin. Selain itu, tim penyidik terus mengumpulkan keterangan dari 25 santri dan warga yang terdaftar sebagai warga belajar atau pelajar pendidikan Salafiyah di Ponpes AI. Mereka diperiksa secara bergiliran.

”Secara keseluruhan jumlah santri dan warga yang akan menjadi saksi dalam kasus ini mencapai sekitar 200 orang. Seluruhnya akan dimintai keterangan hanya dalam waktu empat hari. Sejauh ini, kami sudah mengantongi nama seorang tersangka,” tuturnya.

Dalam kasus ini, tim penyidik mengindikasikan dana BOS Salafiyah yang diterima Ponpes AI didasari data fiktif warga belajar. Selama kurun waktu dua tahun anggaran, ponpes tersebut telah menerima kucuran dana BOS Salafiyah mencapai Rp150 juta yang dialokasikan untuk bantuan pendidikan sebanyak 200 warga belajar. (toni kamajaya)


Sumber: Harian Seputar Indonesia, Rabu 28 Oktober 2009

Menanti Madrasah Aliah Kejuruan

21 Jan 2010
Oleh Drs. NANDANG KOSWARA

Sejak beberapa tahun belakangan, sekolah menengah kejuruan (SMK) mengalami "booming" setiap masa penerima-an siswa baru. Situasi itu nyaris tidak pernah terjadi pada lembaga pendidikan madrasah, khususnya madrasah aliah.e-mail forumguru@pikiran-rakyat.com

MEMBELUDAKNYA peminat ke SMK tidak lepas dari kurikulum yang berlaku di SMK yang menitikberatkan pada pencapaian keterampilan siswa (sekitar 70 persen materi keterampilan). Selain itu, tingginya minat ke SMK dipengaruhi juga oleh rencana pemerintah yang akan meningkatkan rasio SMK dengan SMA menjadi 70 persen SMK dan 30 persen SMA. Rencana itu kemudian diiringi dengan publikasi yang gencar mengenai SMK, dengan menampilkan tayangan-tayangan tentang kompetensi yang dimiliki oleh siswa dan lulusan SMK. Bahkan tokoh-tokoh lulusan SMK yang cukup terkenal dan sukses, semisal presenter Tantowi Yahya, pengusaha yang juga mantan Menteri BUMN di era Habibie, Tanri Abeng, tampil menjadi "bintang iklan" SMK. Kelebihan lain yang juga ditawarkan SMK adalah, orientasi para lulusan SMK tidak hanya memiliki keterampilan sebagai bekal untuk bekerja, tetapi juga para lulusan SMK dapat meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi.

Di tengah kurangnya minat masyarakat terhadap madrasah, para pengelola madrasah dan Kementerian Agama harus melakukan upaya-upaya dalam rangka menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap madrasah, sehingga lembaga pendidikan ini tidak dinomorduakan. Salah satu usaha yang mungkin dapat ditempuh adalah dengan mendirikan madrasah aliah kejuruan. Cara ini mungkin dapat mengubah pandangan sebagian masyarakat yang selama ini beranggapan madrasah adalah sekolah agama dan cenderung dianggap sebagai lembaga pendidikan yang kurang memiliki daya saing.Memang harus disadari, mewujudkan tujuan ini tidak mudah, karena pendirian madrasah aliah kejuruan harus diiringi dengan fasilitas yang memadai untuk mendukung pembelajaran. Hal itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun sebenarnya, masalah tersebut dapat diatasi dengan mengubah status beberapa madrasah aliah menjadi madrasah aliah kejuruan. Asumsi ini didasari kenyataan, ada beberapa madrasah yang memiliki fasilitas cukup memadai untuk diubah menjadi madrasah aliah kejuruan.

Beberapa madrasah aliah yang memiliki fasilitas lengkap adalah madrasah penerima bantuan Program Penguatan Sains dan Teknologi atau Science and Technology Equity Program Phase-2 (STEP-2) Islamic Development Bank (IDB). Dengan program STEP-2 ini, 29 madrasah aliah di seluruh Indonesia yang mendapatkan bantuan laboratorium fisika, kimia, biologi, komputer multimedia, dan laboratorium keterampilan dilengkapi dengan printing dan desain grafis. Dari 29 madrasah yang mendapat bantuan, jenis keterampilan yang diterima oleh madrasah berbeda-beda.Peralatan keterampilan yang ada pada madrasah penerima bantuan STEP-2 dapat dijadikan modal dasar untuk mendirikan madrasah aliah kejuruan.Di tengah berkurangnya minat masyarakat terhadap madrasah, ada baiknya di antara madrasah aliah program STEP-2 mencoba mendirikan madrasah aliah kejuruan atau beralih status menjadi madrasah aliah kejuruan. Atau mungkin Kementerian Agama akan mengeluarkan kebijakan strategis terkait kemungkinan pengembangan madrasah aliah kejuruan?***

Penulis, guru Madrasah Aliah Pontren Darul Maarif, Margaasih, Kab. Bandung.

Guru Madrasah Merasa Dianaktirikan

Senin, 16/03/2009 - 16:02

BEKASI, (PRLM).-Para guru madrasah mengeluhkan nasib mereka yang merasa masih dianaktirikan oleh pemerintah. Dengan demikian, meskipun anggaran pendidikan telah 20 persen, para guru madrasah belum bisa menikmati kesejahteraan yang dijanjikan.

Keluhan ini disampaikan para guru madrasah yang tergabung dalam Persatuan Guru Madrasah (PGM) Kota Bekasi dalam acara Silaturahmi Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita dengan Masyarakat Kota Bekasi, di Gedung Islamic Center Kota Bekasi, Senin (16/3).

Dituturkan Ginandjar perlu adanya perombakan payung hukum bagi dunia pendidikan, termasuk madrasah. dengan demikian tidak ada lagi perbedaan antara sekolah umum dengan sekolah agama.

"Selama ini, pendidikan kita masih memisahkan negeri dan swasta, sekolah umum dengan sekolah agama sehingga terjadi kesenjangan," ujarnya.

Berdasarkan PP No 5 tahun 2007, madrasah telah masuk ke dalam lingkungan departemen pendidikan. Namun demikian, strukturnya masih belum berubah. Akibatnya, anggaran untuk madrasah sudah tidak ada lagi di kandepag tetapi belum juga terwakilkan di Dinas Pendidikan.

"Dengan demikian, posisinya tidak bisa sama dalam anggaran. Anggaran selalu melihat ke sekolah negeri tetapi mengabaikan madrasah. Padahal, itu sudah masuk ke departemen pendidikan," ungkapnya.

Sementara itu, anggaran yang ada di Departemen Agama tidak bisa mencakup kebutuhan madrasah karena porsinya kecil.

Selain itu, para guru madrasah pun masih kesulitan untuk menjadi PNS. Menurut anggota DPR RI Komisi VII, Zulkarnaen Djabar, PP yang ada baru mengakomodasi guru dari madrasah atau sekolah negeri. Padahal, dari 100 ribu madrasah yang ada di Indonesia, baru 10 persen yang negeri, selebihnya yakni 90 persen merupakan madrasah swasta.

Sebaliknya, untuk sekolah umum dari 200 ribu sekolah yang ada, hanya 10 persen yang merupakan sekolah swasta. "Jadi, bagaimana mereka bisa cepat jadi PNS," katanya.

Padahal, selama belum menjadi PNS, guru madrasah hanya mempunyai gaji di bawah UMK. Sebab, APBN hanya membantu Rp 250 ribu per bulan per guru madrasah negeri.

Sementara itu, yang mengajar di madrasah swasta belum bisa menikmati kesejahteraan yang layak.

Hal ini pula yang menyebabkan Ginandjar mencalonkan kembali menjadi DPD Jawa Barat. Sebab, menurut dia, permasalahan madrasah belum selesai. Selain itu, selama ini keberadaan DPD masih belum memiliki kekuatan sehingga keterwakilannya di nasional pun belum dapat menghasilkan aksi yang nyata.

"Kekuatan DPD masih terlalu lemah sehingga belum bisa berbuat banyak untuk mewujudkan harapan masyarakat," tuturnya. (A-155/kur)***

APA ARTI MADRASAH BAGI INDONESIA?

Tuesday, 12 May 2009 21:07
Oleh: Bambang Q-Anees

Agak susah menjawab pertanyaan ini, bila dilihat dari sejumlah kebijakan negeri ini terhadap madrasah. Bandingkan saja subsidi pemerintah yang pernah diberikan untuk siswa sekolah menengah atas, sementara siswa madrasah aliah per tahun adalah Rp 4.000,00, sedangkan siswa SMA sekitar Rp 400.000,00. Perbedaannya seratus kali lipat. Kesenjangan lain juga terlihat dalam hal penyediaan guru oleh pemerintah.

Madrasah dalam sajian data ini adalah komunitas yang tak terperhatikan, terabaikan, bahkan sempat pula dianggap sebagai bagian dari "produsen teroris". Apakah memang demikian? Apakah negeri ini sudah lupa bahwa founding father negeri ini dilahirkan dari madrasah? H. Agus Salim, Moh. Hatta, Tjokroaminoto, Wahid Hasyim, HAMKA, dan sejumlah pendiri bangsa ini adalah alumni madrasah.

Sejarah madrasah

Madrasah adalah saksi dari perjuangan pendidikan yang tak kenal henti. Pada zaman penjajahan Belanda, madrasah didirikan untuk semua warga. Sejarah mencatat, madrasah pertama kali berdiri di Sumatra, Madrasah Adabiyah (1908, dimotori Syekh Abdullah Ahmad), tahun 1910 berdiri Madrasah Schoel di Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar, kemudian M. Mahmud Yunus pada 1918 mendirikan Diniyah Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah Schoel. Madrasah Tawalib didirikan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang (1907). Lalu, Madrasah Nurul Uman dididirikan H. Abdul Somad di Jambi.

Madrasah berkembang di Jawa mulai 1912. Ada model madrasah-pesantren NU dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin Wustha, dan Muallimin Ulya (mulai 1919); ada madrasah yang mengapropriasi sistem pendidikan Belanda plus, seperti Muhammadiyah (1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsnawiyah, Muallimin, Muballighin, dan madrasah Diniyah. Ada juga model Al-Irsyad (1913) yang mendirikan madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus; atau model madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian.

Belanda tentu saja resah akan perkembangan madrasah, lalu keluarlah peraturan yang menetapkan madrasah sebagai "sekolah liar", kemudian mengeluarkan sejumlah peraturan yang melarang atau membatasi madrasah. Kalaupun kemudian Pemerintah Belanda memberikan apresiasi pada kepentingan Islam, bantuan diberikan 7.500 gulden untuk 50.000.000 jiwa. Menyimak pidato Oto Iskandardinata pada 1928 di Voolkraad, bantuan itu dianggap penghinaan karena seharusnya yang diberikan Belanda satu juta gulden.

Akan tetapi, madrasah berdiri di mana-mana. Madrasah adalah perjuangan warga republik ini untuk mendapatkan pendidikan. Pada 1915 berdiri madrasah bagi kaum perempuan, yaitu Madrasah Diniyah putri yang didirikan Rangkayo Rahmah Al-Yunisiah. Zaiuniddin Labai ini juga yang pertama kali mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Minangkabau pada 1919.

Sayangnya, madrasah tetap saja tersingkirkan. Saat Indonesia merdeka, madrasah masih dianggap sebagai pendidikan kelas dua. Pemerintah Indonesia hanya mengeluarkan Maklumat BP KNIP 22 Desember 1945 No. 15 yang menyerukan agar pendidikan di musala dan madrasah berjalan terus dan diperpesat; kemudian diperhatikan melalui keputusan BP KNIP 27 Desember 1945 (agar madrasah mendapat perhatian dan bantuan dari pemerintah) dan melalui Laporan Panitia Penyelidik Pengarahan RI tanggal 2 Mei 1946 yang menegaskan, pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah dipandang perlu untuk dipertinggi dan dimodernisasi serta diberi bantuan berupa biaya sesuai dengan keputuan BP KNIP. Perhatian pemerintah negeri ini diwujudkan dengan PP No. 33 Tahun 1949 dan PP No. 8 Tahun 1950 yang memberikan bantuan kepada madrasah dengan subsidi per siswa @ Rp 60,00.

Baru pada masa reformasi, UU No. 20/2003 tentang UUSPN khususnya Pasal 17 Ayat 2 dan Pasal 18 Ayat 3, madrasah diakui statusnya sederajat dengan sekolah umum. Namun, pemerintah masih enggan memberikan bantuan, apalagi pernah beredar Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh Ma`ruf, tanggal 21 September 2005 No. 903/2429/SJ tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 yang melarang pemerintah daerah mengalokasikan APBD kepada organisasi vertikal (termasuk terhadap madrasah).

Reformasi kemudian melahirkan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Pada PP ini terdapat Pasal 12 ayat (1) yang menyebutkan pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan. Anehnya, PP ini pun masih dianggap angin lalu. Masih banyak pemerintah daerah yang belum memberikan perimbangan dana kepada madrasah. Dana 20% pendidikan di APBD masih menjadikan madrasah sebagai sisipan.

Masa depan madrasah

Saat ini, di Indonesia, terdapat 38 ribu madrasah. Setiap tahunnya, madrasah meluluskan dua ratus ribu siswa, tetapi tak sampai sepuluh persen yang melanjutkan kuliah karena keterbatasan dana; hanya sekitar 20% yang gurunya PNS, sementara yang non-PNS tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah. Apakah 5,5 juta siswa madrasah dan 456.281 guru madrasah ini bukan warga negara Indonesia sehingga mendapatkan perlakuan yang berbeda?

Sebentar lagi pemilihan presiden dan wakil presiden, entah apakah mereka yang terpilih akan memperhatikan nasib madrasah atau akan terus meniru perlakuan penjajah Belanda?

Apa pun yang terjadi, madrasah akan terus ada: cerdas dan mulia!***

Penulis: Sekretaris DPP Persatuan Guru Madrasah (PGM) dan mahasiswa S-3 Administrasi Pendidikan UPI Bandung.

Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Selasa 12 Mei 2009
http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/pendidikan/3770-apa-arti-madrasah-bagi-indonesia.html